GLAUKOMA
Pengertian
Glaucoma adalah sejumlah kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan tekanan intra okuler dimana dapat mengakibatkan penggaungan atau pencekungan papil syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf optik, penyimpangan lapang pandang antara lain penurunan tajam penglihatan.
Klasifikasi glaucoma :
I. Glaukoma primer.
Glaukoma primer merupakan glaucoma yang paling sering terjadi dan biasanya terjadi pada orang yang memiliki bakat glaaukoma ( struktur yang berhubungan dengan sirkulasi atau rearsorbsi / outflow aquas humor yang mengalami perubahan pathologis atau degeneratif. Pada glaucoma primer ini penyebabnya tidak diketahui.
Glaukoma primer dapat dibagi menjadi 2 (dua ) bentuk yaitu :
A. Glaukoma sudut terbuka / simplex.
Merupakan glaucoma yang sering terjadi ( 90 % ), biasanya terjadi pada kedua mata dan salah satu mata lebih berat. Pada tahap awal tidak ditemukan gejala pada glaukoma bentuk ini. Lapang pandang akan menurun pelan – pelan tetapi tidak terdeteksi. Pada glaukoma sudut terbuka terjadi hambatan aliran aquos humor yangb tidak secepat produksinya. Jika hambatan in terjadi terus menerus maka akan terjadi :
Syaraf optik degenerasi
Degenerasi sel ganglion, serabut syaraf retina
Atropsi iris dan siliaris, degenerasi prosesus
Glaukoma ini diturunkan secara genetic, resiko individu terjadi yang berusia lebih dari 40 tahun dan resiko pada individu yang mempunyai keturunan hipertensi, diabetes mellitus, dan glaucoma.
Gejala klinis :
Tidak ada keluhan mata merah,mata nyeri dan kabur oleh karena TIO meningkat tidak mendadak.
Stadium dini gaung papil kecil terjadi gangguan lapang pandang ringan (scotoma kecil) yang tidak terasa oleh penderita.
Stadium selanjutnya gaung papil mulai luas gangguan lapang pandang mulai terasa (penderita melihat bayangan gelap di lapang pandangnya).
Stadium lanjut gangguan papil luas terjadi lapang pandang sempit sehingga terjadi gangguan aktifitas sehari-hari.
Stadium akhir gangguan seluruh papil terjadi lapang pandang gelap.
PENATALAKSANAAN
Prinsip : Mencegah progesifitas penggunaan papil dengan menurunkan TIO.
Cara :
1. Pemakaian obat-obatan sebagai pilihan utama.
2. Bila TIO masih tinggi maka pilihan kedua adalah aplikasi LASER pada jaringan trabekula
3. Bila pilihan keduapun masih belum berhasil maka pilihan ketiga sdslsh bedah filtrasi
Pilihan terakhir adalah menghambat badan siliar dengan aplikasi krio atau LASER
B. Glaukoma sudut tertutup / glaucoma sudut sempit.
Merupakan penyakit mata dengan ganguan integritas struktur dan fungsi yang mendadak sebagai akibat peningkastan TIO yang sangat mendadak karena sudut bilik mata depan mendadak tertutup akibat blok pupil.
Pathofisiologis:
Mata dengan segmen anterior yang kecil dengan meningkatnya usia akan mengalami perubahan- perubahan ( lensa lebih tebal, lebih ke depan, pupil miosis ) dan bila pada suatu saat mengalami cetusan berupa dilatasi ringan dari pupil ( karena emosi , sinar yang remang-remang, obat-obatan ) maka mendadak terjadi blok pupil.
A. GEJALA KLINIS
- Tiba – tiba nyeri hebat pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, dan telinga ).
- Mata sangat kabur dan melihat warna seperti pelangi (halo) disekitar lampu.
- Mual, muntah, berkeringat
- Mata merah, hyperemia konjungtiva dan siliar
- Visus sangat menurun
- Edema kornea
- Bilik mata depan sangat dangkal
- Pupil lebar lonjong dan tidak ada refleks terhadap cahaya.
- TIO sangat tinggi
- Sudut bilik mata tertutup
B. PENATALAKSANAAN
Prinsip :
1. Menurunkan TIO
2. Membuka sudut yang tertutup
3. Memberi suportif
4. Mencegah sudut tertutup ulang
5. Mencegah sudut tertutup pada mata jiran
II. GLAUKOMA SEKUNDER
Merupakan suatu glaucoma sudut terbuka maupun tertutup yang timbul akibat dari radang pada iris dan badan siliar.
1) GEJALA KLINIS
Glaukoma sekunder sudut terbuka :
- Mata merah,silau,berair,nyeri
- Visus menurun
- Hiperemi perilimbal
- Pupil miosis,reflek lambat
- TIO tinggi
- Susut bilik mata depan trbuka.
Glaukoma sekunder sudut tertutup:
- Mata merah,silau,berair,nyeri
- Visus menurun
- Hiperemi perilimbal
- Pupil sinekia posterior total
- Iris bombans
- TIO tinggi
- Sudut bilik mata depan tertutup
III. GLAUKOMA FAKOMORFIK
Merupakan suatu glaucoma sekunder sudut tertutup yang timbul akibat lensa yang membesar karena katarak immature atau matur.
Pathofisiologi:
Pada proses pembentukan katarak lensa akan membesar ( membengkak ) dan bila ini terjadi pada mata dengan anatomi sudut bilik mata depan yang sempit maka jarak iris lensa yang memang sudah kecil akan menjadi lebih sempit sehingga menghambat aliran akuos humor melalui pupil dan tekanan dalam bilik mata belakang meningkat, kemudian menekan iris perifer ke trabekula sehingga sudut bilik mata depan tertutup dengan akibat TIO meningkat.
a) GEJALA KLINIS
Tiba –tiba mata merah dan nyeri disertai visus menurun
Hiperemi siliar
Edema kornea
Lensa katarak imatur
TIO sangat tinggi
Sudut bilik mata depan tertutup
b) PENATALAKSANAAN
I. Segera menurunkan TIO dengan obat-obatan
II. Menekan reaksi radang dengan Kortikosteroid
III. Bila TIO sudah turun 30 mmhg dapat dilakukan pembedahan
IV. GLAUKOMA NEOVASKULER
Merupakan glaucoma sekunder sebagai akibat dari adanya neovaskularisasi pada permukasan sudut dan jaringan trabekula.
(a) Pathofisiologi
Neovaskularisasi pada iris “rubeosis iridis” ( yang merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun diluar mata tetapi yang paling sering adalah retinopati diabetik ) akan meluas ke permukaan sudut bilik mata depan dan jaringan trabekula untuk membentuk membran fibrovaskuler sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat tekanan intra okuler meningkat dan keadaaan sudut masih terbuka.
Suatu saat membran fibrovaskuler ini kontraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior (PAS ) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.
Gejala klinis
Pada stadium sudut terbuka :
- Mata tidak merah,tidak nyeri
- Visus kabur oleh karena keadaan pada retina
- Neovaskularisasi pada iris
- TIO tinggi
- Susut bilik mata depan terbuka
Pada stadium sudut tertutup :
- Mata tiba-tiba sangat nyeri ,merah,berair
- Visus sangat kabur
- Kornea suram
- Neovaskularisasi pada iris
- TIO sangat tinggi
- Sudut bilik mata depan tertutup
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Riwayat atau adanya factor – factor resiko
a. Adanya riwayat penyakit mata dalam keluarga (glaucoma sudut terbuka primer)
b. Tumor Mata
c. Hemoragi Intraokuler
d. Inflamasi Inntraokuler
e. Kontusio mata dari trauma selama pembedahan katarak
2. Pemeriksaan Fisik berdasarkan pengkajian umum pada mata dapat menunjukkan untuk sudut terbuka primer :
Untuk sudut terbuka primer :
a. Adanya keluhan kehilangan penglihatan primer yang lambat (Penglihatan terowong)
Untuk sudut tertutup primer :
a. Nyeri berat pada mata disertai sakit kepala, mual dan muntah – muntah.
b. Keluhan sinar halo pelangi, penglihatan kabur dan penurunan persepsi sinar.
c. Pupil terfiksasi secara sedang dengan sclera kemerahan karena radang dan kornea tampak berawan
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Tonometri digunakan untuk mengukur TIO. Glaukoma dicurigai bila TIO lebih besar dari 22 mmHg.
b. Gonioskopi memungkinkan halo oftalmologi melihat secara langsung ruang anterior untuk membedakan antara glaucoma sudut terbuka dan tertutup.
c. Oftalmoskopi : Memungkinkan penderita meliha secara langsung diskus optik dan struktur mata internal.
4. Kaji pemahaman klien tentang kondisi dan respon emosional terhadap kondisi dan rencana tindakkan.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
1. Nyeri sehubungan dengan Peningkatan tekanan intra okuler, glaucoma akut
Karakteristik data : Keluhan nyeri pada mata, melindungi sisi yang sakit, mengerut dahi, merintih.
Tujuan : Mendemostrasikan berkurangnya nyeri.
Kriteria : Menyangkal nyeri, ekspresi wajah rileks, tidak meintih
Intervensi :
a. Pantau : Tanda vita setiap 4 jam bila tidak mendapat agent osmotic dan setiap 2 jam bila mendapat agent osmotic, Drajat nyeri mata setiap 30 menit selama fase akut, Intake dan output setipa 8 jam selama mendapat agent osmotic intravena., ketajaman penglihatan setiap waktu sebelum penetesan agent oftalmik intravena. Tanyakan bila obyek masih kabur atau sudah bersih.
Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b. Berikan agent oftalmik untuk glaucoma sesuai pesanan dan kaji terhadap responnya. Lakukan kolaborasi segera bila ada hipotensi, urine outpu kurang dari 240 cc/jam, nyeri mata tidak menghilang setelah 30 menit diberi therapy, penurunan secara terus menerus ketajaman penglihatan.
Rasional : Agent osmotic intravena menyebabkan penurunan TIO yang cepat dan merupakan hiperosmolar yang dapat menyebabkan dehidrasi.
c. Siapkan pasien untuk pembedahan sesuai dengan pesanan.
Rasional : Setelah TIO terkontrol pada glaucoma sudut terbuka, pembedahan harus dilakukan secara permanen menghilangkan block pupil.
d. Pertahankan tirah baring ketat pada posisi semi fowler. Mulailan tindakkan – tindakkan untuk mencegah peningkatan TIO :
a. Informasikan pada pasien tentang batuk, mengejan atau menempatkan kepala dibawah panggul.
Rasional : Tekanan pada mata meningkat bila tubuh mendatar dan bila manuver valsava diaktifkan.
b. Berikan lingkungan gelap dan tenang.
Stres dan sina menimbulkan TIO yang mencetuskan nyeri.
c. Berikan analgesik sesuai pesanan dan monitor terhadap efeknya.
Rasional : Untuk mengotrol nyeri.
2. Kecemasan sehubungan dengan Ketakutan akan kebutaan permanen, kurangnya informasi tentang pengobatan dan prosedur yang akan dilakukan.
Karakteristik data : Menungkapkan perasaan gugp atau ketakutan, sering bertanya, suara bergetar, mengatakan kurang tahu.
Tujuan : Mendemostrasikan kecemasan berkurang atau hilang.
Kriteria : Berkurangnya perasaan gugp atau kuatir, mengatakan sudah tahu tentang pengobatan dan prosedur yang akan dihadapi, posisi tubuh rileks.
Intervensi :
a. Biarkan pasien mengungkapkan perasaannya tentang kondisi. Pertahankan cara yang tenang dan efisien. Jelaskan tentang pengobatan dan prosedur yang akan dilakukan.
Rasional : Ekspresi perasaan membantu pasien untuk mengungkapkan sumber kecemasan dan penggunaan koping yang efektif. Pendekatan yang tenang dan pasti meningkatkan kepercayaan klien. Informasi yang akurat membantu mengurangi kecemasan.
b. Pertahankan bel pemanggil disamping tempat tidur pasien dan beritahu pasien untuk memberi tanda bila membutuhkan pelayanan perawat. Tutup pagar tempat tidur untuk mengingatkan pasien tidak naik turun dari tempat tidur.
Rasional : Kecemasan akan meningkat bila pasien merasa ditinggalkan dan tanpa bantuan.
c. Pertahankan kontrol nyeri yang efektif
Rasional : Nyeri merupakan salah satu sumber kecemasan
Diagnosa Keperawatan lain yang dapat ditemukan antara lain :
1. Peruban sensori / persepsi penglihatan sehubungan dengan kerusakan serabut saraf akibat peningkatan tekanan intra okuler.
2. Potensial injuri sehubungan dengan penurunan lapangan pandang.
Kamis, 24 Februari 2011
frizca rizky - ASKEP LUKA BAKAR (COMBUSTIO)
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR (COMBUSTIO)
Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, , bahan kimia dan arus listrik/petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
Etiologi
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (Chemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
Fase Luka Bakar
A. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini, seorang penderita akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life thretening. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi syok (terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O2 dan tingkat kebutuhan respirasi sel dan jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih ditingkahi denagn problema instabilitas sirkulasi.
B. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
C. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Klasifikasi Luka Bakar
A. Dalamnya luka bakar.
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan partial superfisial
(tingkat I) Jilatan api, sinar ultra violet (terbakar oleh matahari). Kering tidak ada gelembung.
Oedem minimal atau tidak ada.
Pucat bila ditekan dengan ujung jari, berisi kembali bila tekanan dilepas.
Bertambah merah. Nyeri
Lebih dalam dari ketebalan partial
(tingkat II)
- Superfisial
- Dalam Kontak dengan bahan air atau bahan padat.
Jilatan api kepada pakaian.
Jilatan langsung kimiawi.
Sinar ultra violet.
Blister besar dan lembab yang ukurannya bertambah besar.
Pucat bial ditekan dengan ujung jari, bila tekanan dilepas berisi kembali. Berbintik-bintik yang kurang jelas, putih, coklat, pink, daerah merah coklat. Sangat nyeri
Ketebalan sepenuhnya
(tingkat III) Kontak dengan bahan cair atau padat.
Nyala api.
Kimia.
Kontak dengan arus listrik. Kering disertai kulit mengelupas.
Pembuluh darah seperti arang terlihat dibawah kulit yang mengelupas.
Gelembung jarang, dindingnya sangat tipis, tidak membesar.
Tidak pucat bila ditekan.
Putih, kering, hitam, coklat tua.
Hitam.
Merah. Tidak sakit, sedikit sakit.
Rambut mudah lepas bila dicabut.
B. Luas luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
1) Kepala dan leher : 9%
2) Lengan masing-masing 9% : 18%
3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
4) Tungkai maisng-masing 18% : 36%
5) Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
C. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American Burn Association membagi dalam :
1) Yang termasuk luka bakar ringan (minor) :
a) Tingkat II kurang dari 15% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% Total Body Surface Area pada anak-anak.
b) Tingkat III kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi.
2) Yang termasuk luka bakar sedang (moderate) :
a) Tingkat II 15% - 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% - 20% Total Body Surface Area pada anak-anak.
b) Tingkat III kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi.
3) Yang termasuk luka bakar kritis (mayor):
a) Tingkat II 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang dewasa atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak..
b) Tingkat III 10% atau lebih.
c) Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan perineum..
d) Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan.
e) Luka bakar sengatan listrik (elektrik).
f) Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya tahan tubuh seperti luka jaringan linak, fractur, trauma lain atau masalah kesehatan sebelumnya..
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah – critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang – moderate:
a) Tingkat II : 15 – 30%
b) Tingkat III : 1 – 10%
C. Ringan – minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
Patofisiologi Luka Bakar
Eritrosit
Metabolisme ¯ anemia Perubahan Nutrisi:Kurang Kebutuhan
Glukoneogenesis Glikogenolisis
Resiko Infeksi
Kebutuhan O2
Luka Bakar Luas Resiko Kerusakan Pertukaran Gas
Aldosteron Sekresi adrenal
Depresi miokard/ MDF
Katekolamin release
Insufisiensi miokard
Renal flow ¯ Vasokontriksi H2O loss ¯
cardiac output ¯
Retensi Na+ GFR Splenic flow ¯ hipovolemik
Ggn perfusi jaringan.
K+ loss Gagal ginjal Hipoksia hepar
Asidosis
Gagal hepar Gangguan Perfusi Jaringan
Resiko Kekurangan Volume Cairan
Nyeri
Ansietas
Kerusakan Mobilitas Fisik
(Hudak & Gallo; 1997)
Efek fisiologi yang merugikan pada luka bakar dapat ringan, pembentukan jaringan parut lokal atau luka bakar yang berat yang berupa kematian. Pada luka bakar yang lebih besar terjadi kecacatan. Setelah permulaan luka bakar dan akibat trauma kulit dapat berkembang dan merusak berbagai organ. Perkembangan ini kompleks dan pada beberapa kasus kejadiannya tak dapat dijelaskan. Yang penting besarnya perubahan fisiologi yang disertai dengan luka bakar berkisar pada dua kejadian yang mendasari yaitu :
1. Kerusakan langsung pada kulit dan gangguan fungsinya.
2. Stimulasi kompensasi reaksi pertahanan masif yang meliputi pengaktifan respon keradangan dan respon stress sistem syaraf simpatis.
1. Kerusakan Kulit Dan Kehilangan Fungsi.
Tubuh mempunyai beberapa metode untuk mengkompensasi terhadap luasnya variasi dalam temperatur eksternal. Sirkulasi darah bertindak menghasilkan dan menghantarkan panas, penghantaran pasas yang efisien di bawah normal. Bila panas diberikan pada kulit maka temperatur subdermal segera meningkat dengan cepat. Segera sumber panas dipindah (diangkat), tubuh akan kembali normal dalam beberapa detik. Jika sumber panas tidak segera dihilangkan atau diberikan rata-rata atau pada tingkat yang melebihi kapasitas kulit untuk menghantarkannya, maka terjadilah kerusakan kulit. Paparan panas yang relatif rendah yang lama atau paparan pendek temperaturnya yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan kulit yang progresif pada tingkat yang lebih dalam. Kebanyakan luka bakar pada ukuran yang berarti menyebabkan kerusakan sel melalui semua lapisan, meskipun tidak sama pada semua area.
Ketebalan kulit yang terlibat tergantung pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh panas. Panas yang kurang dalam waktu yang diperlukan untuk kerusakan pada daerah tubuh dengan kulit tipis sebanding dengan daerah dimana kulit lebih tebal. Kulit yang paling tebal adalah pada daerah belakang dan paha, dan yang paling tipis sekitar tangan bagian medial, batang hidung dan wajah. Kulit umumnya lebih tipis pada anak-anak dan orang tua dari pada dewasa pertengahan. Orang tua mempunyai penurunan lapisan subkutan, kehilangan serat elastik dan pengurangan semua kemampuan untuk merespon terhadap trauma.
2. Aktifitas Respon Kompensasi Terhadap Keradangan.
Beberapa luka jaringan yang diterima tubuh sebagai ancaman homeostasis yang normal adalah respon pertahanan yang dirangsang sebagai sebagai kondisi dan kerusakan, urutan respun aktual ini selalu sama. Besarnya respon tergantung pada intensitas dan lamanya permulaam kerusakan. Satu hal yang penting untuk diingat dahwa respon keradangan (inflamatory respon) merupakan mekanisme kompensasi yang segera membantu tubuh bila invasi atau luka terjadi. Aksi-aksi ini merencanakan pertahanan lokal dan dalam waktu yang relatif pendek. Bila aksi-aksi ini menyebar cepat dan menetap, maka akan menyebabkan komplikasi fisiologis yang merugikan yang juga mempengaruhi pertahanan homeostasis.
Respon terhadap keradangan pada luka terjadi secara primer pada tingkat vasculer. Kerusakan jaringan dan makrofage dalam jaringan mengurangi kelenjar kimia tubuh (histamin, bradikinin, serotonin dan vasoaktif-amin yang lain) yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah (vaso) dan meningkatkan permiabilitas kapiler. Bila kerusakan jaringan bersifat luas, substansi ini disekresi dalam jumlah besar, diedarkan secara sistemik dan menyebabkan perubahan vaskuler pada semua jaringan. perubahan vaskuler ini bertanggungjawab terhadapmanifestasi klinik dini pembuluh darah (kardiovasculer) dan komplikasi yang menyertai luka bakar. Substansi ini juga mempengaruhi darah dan pembuluh darah, substansi kimiawi (chemotaksik) yang disertai oleh jaringan makrofage yang mengikal leukosit khusus pada lokasi luka dan merubah sumsum tulang dan kematangan leukosit. Perubahan ini segera menyeluruh dan lebih jauh mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh.
3. Aktifitas Respon Kompensasi Sistem Syaraf Simpatis.
Respon sistem syaraf simpatis dibangkitkan oleh pemisahan simpatis pada sistem syaraf otonom pada hubungan sistem endokirn sebagai reaksi internal pada kondisi yang mengancam kekacauan homeostasis internal. Reaksi ini kadang-kadang berbentuk gejala adaptasi umum (general adaptif syndrom) atau reaksi bertempur dan lari (fight or flight) karena mereka mempersiapkan tubuh untuk aktifitas yang mengijinkan perubahan pada keadaan semula. Respon terhadap stress segera menimbulkan perubahan fisiologi (adaptasi) yang merangsang atau menambah fungsi untuk keperluan bertempur atau lari (fight or flight) atau menambah fungsi agar tidak segera menyebabkan fight or flight.
Perubahan rangsangan fisiologis meliputi peningkatan rata-rata dan kedalaman pernafasan, peningkatan rata-rata denyut jantung, vasokunstriksi selektif, peningkatan aliran darah otak, hati, muskuloskeletal dan miokardium, peningkatan metabolisme dan pembentukan substansi energi tinggi dan penurunan persediaan glikogen dan lemak. Perubahan fisiologis yang terhambat meliputi penurunan aliran darah ke kulit, ginjal dan saluran pencernaan (traktus intestinal) serta penurunan pergerakan sistem pencernaan (Gastrointestinal) dan sekresi. Respon ini berguna bagi tubuh untuk waktu yang pendek dan membantu mempertahankan fungsi organ vital dalam kondisi yang merugikan atau memperburuk keadaan. Bagaimanapun bila respon simpatis berlanjut untuk waktu yang lama tanpa pengaruh dari luar, respon tubuh menjadi lebih tertekan dan menyebabkan kondisi patologis menuju kehabisan sumber yang bersifat adaptasi.
Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar
Perubahan Tingkatan hipovolemik
( s/d 48-72 jam pertama) Tingkatan diuretik
(12 jam – 18/24 jam pertama)
Mekanisme Dampak dari Mekanisme Dampak dari
Pergeseran cairan ekstraseluler.
Vaskuler ke insterstitial. Hemokonsentrasi oedem pada lokasi luka bakar. Interstitial ke vaskuler. Hemodilusi.
Fungsi renal. Aliran darah renal berkurang karena desakan darah turun dan CO berkurang.
Oliguri. Peningkatan aliran darah renal karena desakan darah meningkat. Diuresis.
Kadar sodium/natrium. Na+ direabsorbsi oleh ginjal, tapi kehilangan Na+ melalui eksudat dan tertahan dalam cairan oedem.
Defisit sodium. Kehilangan Na+ melalui diuresis (normal kembali setelah 1 minggu). Defisit sodium.
Kadar potassium. K+ dilepas sebagai akibat cidera jarinagn sel-sel darah merah, K+ berkurang ekskresi karena fungsi renal berkurang.
Hiperkalemi K+ bergerak kembali ke dalam sel, K+ terbuang melalui diuresis (mulai 4-5 hari setelah luka bakar). Hipokalemi.
Kadar protein. Kehilangan protein ke dalam jaringan akibat kenaikan permeabilitas.
Hipoproteinemia. Kehilangan protein waktu berlangsung terus katabolisme. Hipoproteinemia.
Keseimbangan nitrogen. Katabolisme jaringan, kehilangan protein dalam jaringan, lebih banyak kehilangan dari masukan.
Keseimbangan nitrogen negatif. Katabolisme jaringan, kehilangan protein, immobilitas. Keseimbangan nitrogen negatif.
Keseimbnagan asam basa. Metabolisme anaerob karena perfusi jarinagn berkurang peningkatan asam dari produk akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi produk akhir tertahan), kehilangan bikarbonas serum.
Asidosis metabolik. Kehilangan sodium bicarbonas melalui diuresis, hipermetabolisme disertai peningkatan produk akhir metabolisme. Asidosis metabolik.
Respon stres. Terjadi karena trauma, peningkatan produksi cortison. Aliran darah renal berkurang. Terjadi karena sifat cidera berlangsung lama dan terancam psikologi pribadi.
Stres karena luka.
Eritrosit Terjadi karena panas, pecah menjadi fragil.
Luka bakar termal. Tidak terjadi pada hari-hari pertama. Hemokonsentrasi.
Lambung. Curling ulcer (ulkus pada gaster), perdarahan lambung, nyeri. Rangsangan central di hipotalamus dan peingkatan jumlah cortison.
Akut dilatasi dan paralise usus. Peningkatan jumlah cortison.
Jantung. MDF meningkat 2x lipat, merupakan glikoprotein yang toxic yang dihasilkan oleh kulit yang terbakar. Disfungsi jantung. Peningkatan zat MDF (miokard depresant factor) sampai 26 unit, bertanggung jawab terhadap syok spetic.
CO menurun.
Indikasi Rawat Inap Luka Bakar
A. Luka bakar grade II:
1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III.
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
Penatalaksanaan
Seperti menangani kasus emergency umum yaitu:
A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan:
a) Udara panas à mukosa rusak à oedem à obstruksi.
b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin à iritasi à Bronkhokontriksi à obstruksi à gagal nafas.
2) Sirkulasi:
gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler à hipovolemi relatif à syok à ATN à gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan à Baxter.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfa diazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine) 0 Antasida : kalau perlu
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Aktifitas/istirahat:
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.
b) Sirkulasi:
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).
c) Integritas ego:
Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
d) Eliminasi:
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
e) Makanan/cairan:
Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.
f) Neurosensori:
Gejala: area batas; kesemutan.
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).
g) Nyeri/kenyamanan:
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
h) Pernafasan:
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).
i) Keamanan:
Tanda:
Kulit umum: destruksi jarinagn dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.
Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian terbakar.
Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot tetanik sehubungan dengan syok listrik).
j) Pemeriksaan diagnostik:
(1) LED: mengkaji hemokonsentrasi.
(2) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terdapat peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung.
(3) Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal, khususnya pada cedera inhalasi asap.
(4) BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal.
(5) Urinalisis menunjukkan mioglobin dan hemokromogen menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.
(6) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
(7) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif.
(8) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi asap.
2. Diagnosa Keperawatan
Sebagian klien luka bakar dapat terjadi Diagnosa Utama dan Diagnosa Tambahan selama menderita luka bakar (common and additional). Diagnosis yang lazim terjadi pada klien yang dirawat di rumah sakit yang menderila luka bakar lebih dari 25 % Total Body Surface Area adalah :
1. Penurunan Kardiak Output berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler.
2. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan ketidak seimbangan elektrolit dan kehilangan volume plasma dari pembuluh darah.
3. Perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan Kardiak Output dan edema.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kesukaran bernafas (Respiratory Distress) dari trauma inhalasi, sumbatan (Obstruksi) jalan nafas dan pneumoni.
5. Perubahan Rasa Nyaman : Nyeri berhubungan dengan paparan ujung syaraf pada kulit yang rusak.
6. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan luka bakar.
7. Potensial Infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
8. Perubahan Nutrisi : Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan peningkatan rata-rata metabolisme.
9. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan luka bakar, scar dan kontraktur.
10. Gangguan Gambaran Tubuh (Body Image) berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
Klien luka bakar mungkin dapat terjadi Diagnosa Resiko dari satu atau lebih Diagnosa keperawatan berikut :
1. Ketidakefektifan coping keluarga berhubungan dengan kehilangan rumah, keluarga atau yang lain.
2. Ketidakefektifan pertahanan coping individu berhubungan dengan situasi krisis.
3. Kecemasan berhubungan dengan ancaman kematian, situasi krisis dan kehilangan pengendalian.
4. Takut berhubungan dengan nyeri, prosedur terapi dan keadaan masa depan yang tidak diketahui.
5. Kelebihan cairan berhubungan dengan pemberian cairan intra vena yang terlalu banyak.
6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan nyeri, kontraktur dan kehilangan fungsi pada ekstrimitas dan bagian tubuh lain.
7. Gangguan fungsi (disfungsi) seksual berhubungan dengan luka bakar perineum, genetalia, payudara, imobilisasi, kelelahan, depresi dan gangguan dalam gambaran diri (body image).
8. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, cara pengobatan dan lingkungan yang gaduh.
9. Isolasi sosial berhubungan dengan cara pengobatan dan perubahan dalam penampilan fisik.
10. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan gagal ginjal dan terapi obat.
11. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pengaruh luka bakar.
Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1 Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi trakeabronkial;edema mukosa dan hilangnya kerja silia. Luka bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak dan dada atau keterdatasan pengembangan dada.
2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan Kehilangan cairan melalui rute abnormal. Peningkatan kebutuhan : status hypermetabolik, ketidak cukupan pemasukan. Kehilangan perdarahan.
3 Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi asap atau sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar sirkumfisial dari dada atau leher.
4 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan perlinduingan kulit; jaringan traumatik. Pertahanan sekunder tidak adekuat; penurunan Hb, penekanan respons inflamasi.
5 Nyeri berhubungan dengan Kerusakan kulit/jaringan; pembentukan edema. Manifulasi jaringan cidera contoh debridemen luka.
6 Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan, perubahan/disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan Penurunan/interupsi aliran darah arterial/vena, contoh luka bakar seputar ekstremitas dengan edema.
7 Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau katabolisme protein.
8 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
9 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).
10 Gangguan citra tubuh (penampilan peran) berhubungan dengan krisis situasi; kejadian traumatik peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri.
11 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan Salah interpretasi informasi Tidak mengenal sumber informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B. Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 – 1328.
Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 752 – 779.
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Doenges M.E. (1989). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Donna D.Ignatavicius dan Michael, J. Bayne. (1991). Medical Surgical Nursing. A Nursing Process Approach. W. B. Saunders Company. Philadelphia. Hal. 357 – 401.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik Praktis. Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (2001). Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar Secara Paripurna. Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Jane, B. (1993). Accident and Emergency Nursing. Balck wellScientific Peblications. London.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Senat Mahasiswa FK Unair. (1996). Diktat Kuliah Ilmu Bedah 1. Surabaya.
Sylvia A. Price. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4 Buku 2. Penerbit Buku Kedokteran Egc, Jakarta
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR (COMBUSTIO)
Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, , bahan kimia dan arus listrik/petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
Etiologi
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (Chemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
Fase Luka Bakar
A. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini, seorang penderita akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life thretening. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi syok (terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O2 dan tingkat kebutuhan respirasi sel dan jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih ditingkahi denagn problema instabilitas sirkulasi.
B. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
C. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Klasifikasi Luka Bakar
A. Dalamnya luka bakar.
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan partial superfisial
(tingkat I) Jilatan api, sinar ultra violet (terbakar oleh matahari). Kering tidak ada gelembung.
Oedem minimal atau tidak ada.
Pucat bila ditekan dengan ujung jari, berisi kembali bila tekanan dilepas.
Bertambah merah. Nyeri
Lebih dalam dari ketebalan partial
(tingkat II)
- Superfisial
- Dalam Kontak dengan bahan air atau bahan padat.
Jilatan api kepada pakaian.
Jilatan langsung kimiawi.
Sinar ultra violet.
Blister besar dan lembab yang ukurannya bertambah besar.
Pucat bial ditekan dengan ujung jari, bila tekanan dilepas berisi kembali. Berbintik-bintik yang kurang jelas, putih, coklat, pink, daerah merah coklat. Sangat nyeri
Ketebalan sepenuhnya
(tingkat III) Kontak dengan bahan cair atau padat.
Nyala api.
Kimia.
Kontak dengan arus listrik. Kering disertai kulit mengelupas.
Pembuluh darah seperti arang terlihat dibawah kulit yang mengelupas.
Gelembung jarang, dindingnya sangat tipis, tidak membesar.
Tidak pucat bila ditekan.
Putih, kering, hitam, coklat tua.
Hitam.
Merah. Tidak sakit, sedikit sakit.
Rambut mudah lepas bila dicabut.
B. Luas luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
1) Kepala dan leher : 9%
2) Lengan masing-masing 9% : 18%
3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
4) Tungkai maisng-masing 18% : 36%
5) Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
C. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American Burn Association membagi dalam :
1) Yang termasuk luka bakar ringan (minor) :
a) Tingkat II kurang dari 15% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% Total Body Surface Area pada anak-anak.
b) Tingkat III kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi.
2) Yang termasuk luka bakar sedang (moderate) :
a) Tingkat II 15% - 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% - 20% Total Body Surface Area pada anak-anak.
b) Tingkat III kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi.
3) Yang termasuk luka bakar kritis (mayor):
a) Tingkat II 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang dewasa atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak..
b) Tingkat III 10% atau lebih.
c) Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan perineum..
d) Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan.
e) Luka bakar sengatan listrik (elektrik).
f) Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya tahan tubuh seperti luka jaringan linak, fractur, trauma lain atau masalah kesehatan sebelumnya..
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah – critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang – moderate:
a) Tingkat II : 15 – 30%
b) Tingkat III : 1 – 10%
C. Ringan – minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
Patofisiologi Luka Bakar
Eritrosit
Metabolisme ¯ anemia Perubahan Nutrisi:Kurang Kebutuhan
Glukoneogenesis Glikogenolisis
Resiko Infeksi
Kebutuhan O2
Luka Bakar Luas Resiko Kerusakan Pertukaran Gas
Aldosteron Sekresi adrenal
Depresi miokard/ MDF
Katekolamin release
Insufisiensi miokard
Renal flow ¯ Vasokontriksi H2O loss ¯
cardiac output ¯
Retensi Na+ GFR Splenic flow ¯ hipovolemik
Ggn perfusi jaringan.
K+ loss Gagal ginjal Hipoksia hepar
Asidosis
Gagal hepar Gangguan Perfusi Jaringan
Resiko Kekurangan Volume Cairan
Nyeri
Ansietas
Kerusakan Mobilitas Fisik
(Hudak & Gallo; 1997)
Efek fisiologi yang merugikan pada luka bakar dapat ringan, pembentukan jaringan parut lokal atau luka bakar yang berat yang berupa kematian. Pada luka bakar yang lebih besar terjadi kecacatan. Setelah permulaan luka bakar dan akibat trauma kulit dapat berkembang dan merusak berbagai organ. Perkembangan ini kompleks dan pada beberapa kasus kejadiannya tak dapat dijelaskan. Yang penting besarnya perubahan fisiologi yang disertai dengan luka bakar berkisar pada dua kejadian yang mendasari yaitu :
1. Kerusakan langsung pada kulit dan gangguan fungsinya.
2. Stimulasi kompensasi reaksi pertahanan masif yang meliputi pengaktifan respon keradangan dan respon stress sistem syaraf simpatis.
1. Kerusakan Kulit Dan Kehilangan Fungsi.
Tubuh mempunyai beberapa metode untuk mengkompensasi terhadap luasnya variasi dalam temperatur eksternal. Sirkulasi darah bertindak menghasilkan dan menghantarkan panas, penghantaran pasas yang efisien di bawah normal. Bila panas diberikan pada kulit maka temperatur subdermal segera meningkat dengan cepat. Segera sumber panas dipindah (diangkat), tubuh akan kembali normal dalam beberapa detik. Jika sumber panas tidak segera dihilangkan atau diberikan rata-rata atau pada tingkat yang melebihi kapasitas kulit untuk menghantarkannya, maka terjadilah kerusakan kulit. Paparan panas yang relatif rendah yang lama atau paparan pendek temperaturnya yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan kulit yang progresif pada tingkat yang lebih dalam. Kebanyakan luka bakar pada ukuran yang berarti menyebabkan kerusakan sel melalui semua lapisan, meskipun tidak sama pada semua area.
Ketebalan kulit yang terlibat tergantung pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh panas. Panas yang kurang dalam waktu yang diperlukan untuk kerusakan pada daerah tubuh dengan kulit tipis sebanding dengan daerah dimana kulit lebih tebal. Kulit yang paling tebal adalah pada daerah belakang dan paha, dan yang paling tipis sekitar tangan bagian medial, batang hidung dan wajah. Kulit umumnya lebih tipis pada anak-anak dan orang tua dari pada dewasa pertengahan. Orang tua mempunyai penurunan lapisan subkutan, kehilangan serat elastik dan pengurangan semua kemampuan untuk merespon terhadap trauma.
2. Aktifitas Respon Kompensasi Terhadap Keradangan.
Beberapa luka jaringan yang diterima tubuh sebagai ancaman homeostasis yang normal adalah respon pertahanan yang dirangsang sebagai sebagai kondisi dan kerusakan, urutan respun aktual ini selalu sama. Besarnya respon tergantung pada intensitas dan lamanya permulaam kerusakan. Satu hal yang penting untuk diingat dahwa respon keradangan (inflamatory respon) merupakan mekanisme kompensasi yang segera membantu tubuh bila invasi atau luka terjadi. Aksi-aksi ini merencanakan pertahanan lokal dan dalam waktu yang relatif pendek. Bila aksi-aksi ini menyebar cepat dan menetap, maka akan menyebabkan komplikasi fisiologis yang merugikan yang juga mempengaruhi pertahanan homeostasis.
Respon terhadap keradangan pada luka terjadi secara primer pada tingkat vasculer. Kerusakan jaringan dan makrofage dalam jaringan mengurangi kelenjar kimia tubuh (histamin, bradikinin, serotonin dan vasoaktif-amin yang lain) yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah (vaso) dan meningkatkan permiabilitas kapiler. Bila kerusakan jaringan bersifat luas, substansi ini disekresi dalam jumlah besar, diedarkan secara sistemik dan menyebabkan perubahan vaskuler pada semua jaringan. perubahan vaskuler ini bertanggungjawab terhadapmanifestasi klinik dini pembuluh darah (kardiovasculer) dan komplikasi yang menyertai luka bakar. Substansi ini juga mempengaruhi darah dan pembuluh darah, substansi kimiawi (chemotaksik) yang disertai oleh jaringan makrofage yang mengikal leukosit khusus pada lokasi luka dan merubah sumsum tulang dan kematangan leukosit. Perubahan ini segera menyeluruh dan lebih jauh mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh.
3. Aktifitas Respon Kompensasi Sistem Syaraf Simpatis.
Respon sistem syaraf simpatis dibangkitkan oleh pemisahan simpatis pada sistem syaraf otonom pada hubungan sistem endokirn sebagai reaksi internal pada kondisi yang mengancam kekacauan homeostasis internal. Reaksi ini kadang-kadang berbentuk gejala adaptasi umum (general adaptif syndrom) atau reaksi bertempur dan lari (fight or flight) karena mereka mempersiapkan tubuh untuk aktifitas yang mengijinkan perubahan pada keadaan semula. Respon terhadap stress segera menimbulkan perubahan fisiologi (adaptasi) yang merangsang atau menambah fungsi untuk keperluan bertempur atau lari (fight or flight) atau menambah fungsi agar tidak segera menyebabkan fight or flight.
Perubahan rangsangan fisiologis meliputi peningkatan rata-rata dan kedalaman pernafasan, peningkatan rata-rata denyut jantung, vasokunstriksi selektif, peningkatan aliran darah otak, hati, muskuloskeletal dan miokardium, peningkatan metabolisme dan pembentukan substansi energi tinggi dan penurunan persediaan glikogen dan lemak. Perubahan fisiologis yang terhambat meliputi penurunan aliran darah ke kulit, ginjal dan saluran pencernaan (traktus intestinal) serta penurunan pergerakan sistem pencernaan (Gastrointestinal) dan sekresi. Respon ini berguna bagi tubuh untuk waktu yang pendek dan membantu mempertahankan fungsi organ vital dalam kondisi yang merugikan atau memperburuk keadaan. Bagaimanapun bila respon simpatis berlanjut untuk waktu yang lama tanpa pengaruh dari luar, respon tubuh menjadi lebih tertekan dan menyebabkan kondisi patologis menuju kehabisan sumber yang bersifat adaptasi.
Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar
Perubahan Tingkatan hipovolemik
( s/d 48-72 jam pertama) Tingkatan diuretik
(12 jam – 18/24 jam pertama)
Mekanisme Dampak dari Mekanisme Dampak dari
Pergeseran cairan ekstraseluler.
Vaskuler ke insterstitial. Hemokonsentrasi oedem pada lokasi luka bakar. Interstitial ke vaskuler. Hemodilusi.
Fungsi renal. Aliran darah renal berkurang karena desakan darah turun dan CO berkurang.
Oliguri. Peningkatan aliran darah renal karena desakan darah meningkat. Diuresis.
Kadar sodium/natrium. Na+ direabsorbsi oleh ginjal, tapi kehilangan Na+ melalui eksudat dan tertahan dalam cairan oedem.
Defisit sodium. Kehilangan Na+ melalui diuresis (normal kembali setelah 1 minggu). Defisit sodium.
Kadar potassium. K+ dilepas sebagai akibat cidera jarinagn sel-sel darah merah, K+ berkurang ekskresi karena fungsi renal berkurang.
Hiperkalemi K+ bergerak kembali ke dalam sel, K+ terbuang melalui diuresis (mulai 4-5 hari setelah luka bakar). Hipokalemi.
Kadar protein. Kehilangan protein ke dalam jaringan akibat kenaikan permeabilitas.
Hipoproteinemia. Kehilangan protein waktu berlangsung terus katabolisme. Hipoproteinemia.
Keseimbangan nitrogen. Katabolisme jaringan, kehilangan protein dalam jaringan, lebih banyak kehilangan dari masukan.
Keseimbangan nitrogen negatif. Katabolisme jaringan, kehilangan protein, immobilitas. Keseimbangan nitrogen negatif.
Keseimbnagan asam basa. Metabolisme anaerob karena perfusi jarinagn berkurang peningkatan asam dari produk akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi produk akhir tertahan), kehilangan bikarbonas serum.
Asidosis metabolik. Kehilangan sodium bicarbonas melalui diuresis, hipermetabolisme disertai peningkatan produk akhir metabolisme. Asidosis metabolik.
Respon stres. Terjadi karena trauma, peningkatan produksi cortison. Aliran darah renal berkurang. Terjadi karena sifat cidera berlangsung lama dan terancam psikologi pribadi.
Stres karena luka.
Eritrosit Terjadi karena panas, pecah menjadi fragil.
Luka bakar termal. Tidak terjadi pada hari-hari pertama. Hemokonsentrasi.
Lambung. Curling ulcer (ulkus pada gaster), perdarahan lambung, nyeri. Rangsangan central di hipotalamus dan peingkatan jumlah cortison.
Akut dilatasi dan paralise usus. Peningkatan jumlah cortison.
Jantung. MDF meningkat 2x lipat, merupakan glikoprotein yang toxic yang dihasilkan oleh kulit yang terbakar. Disfungsi jantung. Peningkatan zat MDF (miokard depresant factor) sampai 26 unit, bertanggung jawab terhadap syok spetic.
CO menurun.
Indikasi Rawat Inap Luka Bakar
A. Luka bakar grade II:
1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III.
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
Penatalaksanaan
Seperti menangani kasus emergency umum yaitu:
A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan:
a) Udara panas à mukosa rusak à oedem à obstruksi.
b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin à iritasi à Bronkhokontriksi à obstruksi à gagal nafas.
2) Sirkulasi:
gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler à hipovolemi relatif à syok à ATN à gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan à Baxter.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfa diazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine) 0 Antasida : kalau perlu
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Aktifitas/istirahat:
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit; gangguan massa otot, perubahan tonus.
b) Sirkulasi:
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).
c) Integritas ego:
Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
d) Eliminasi:
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
e) Makanan/cairan:
Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.
f) Neurosensori:
Gejala: area batas; kesemutan.
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).
g) Nyeri/kenyamanan:
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
h) Pernafasan:
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).
i) Keamanan:
Tanda:
Kulit umum: destruksi jarinagn dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan variase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.
Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian terbakar.
Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot tetanik sehubungan dengan syok listrik).
j) Pemeriksaan diagnostik:
(1) LED: mengkaji hemokonsentrasi.
(2) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terdapat peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung.
(3) Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal, khususnya pada cedera inhalasi asap.
(4) BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal.
(5) Urinalisis menunjukkan mioglobin dan hemokromogen menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.
(6) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
(7) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif.
(8) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi asap.
2. Diagnosa Keperawatan
Sebagian klien luka bakar dapat terjadi Diagnosa Utama dan Diagnosa Tambahan selama menderita luka bakar (common and additional). Diagnosis yang lazim terjadi pada klien yang dirawat di rumah sakit yang menderila luka bakar lebih dari 25 % Total Body Surface Area adalah :
1. Penurunan Kardiak Output berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler.
2. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan ketidak seimbangan elektrolit dan kehilangan volume plasma dari pembuluh darah.
3. Perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan Kardiak Output dan edema.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kesukaran bernafas (Respiratory Distress) dari trauma inhalasi, sumbatan (Obstruksi) jalan nafas dan pneumoni.
5. Perubahan Rasa Nyaman : Nyeri berhubungan dengan paparan ujung syaraf pada kulit yang rusak.
6. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan luka bakar.
7. Potensial Infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
8. Perubahan Nutrisi : Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan peningkatan rata-rata metabolisme.
9. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan luka bakar, scar dan kontraktur.
10. Gangguan Gambaran Tubuh (Body Image) berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
Klien luka bakar mungkin dapat terjadi Diagnosa Resiko dari satu atau lebih Diagnosa keperawatan berikut :
1. Ketidakefektifan coping keluarga berhubungan dengan kehilangan rumah, keluarga atau yang lain.
2. Ketidakefektifan pertahanan coping individu berhubungan dengan situasi krisis.
3. Kecemasan berhubungan dengan ancaman kematian, situasi krisis dan kehilangan pengendalian.
4. Takut berhubungan dengan nyeri, prosedur terapi dan keadaan masa depan yang tidak diketahui.
5. Kelebihan cairan berhubungan dengan pemberian cairan intra vena yang terlalu banyak.
6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan nyeri, kontraktur dan kehilangan fungsi pada ekstrimitas dan bagian tubuh lain.
7. Gangguan fungsi (disfungsi) seksual berhubungan dengan luka bakar perineum, genetalia, payudara, imobilisasi, kelelahan, depresi dan gangguan dalam gambaran diri (body image).
8. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, cara pengobatan dan lingkungan yang gaduh.
9. Isolasi sosial berhubungan dengan cara pengobatan dan perubahan dalam penampilan fisik.
10. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan gagal ginjal dan terapi obat.
11. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pengaruh luka bakar.
Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1 Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi trakeabronkial;edema mukosa dan hilangnya kerja silia. Luka bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak dan dada atau keterdatasan pengembangan dada.
2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan Kehilangan cairan melalui rute abnormal. Peningkatan kebutuhan : status hypermetabolik, ketidak cukupan pemasukan. Kehilangan perdarahan.
3 Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi asap atau sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar sirkumfisial dari dada atau leher.
4 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan perlinduingan kulit; jaringan traumatik. Pertahanan sekunder tidak adekuat; penurunan Hb, penekanan respons inflamasi.
5 Nyeri berhubungan dengan Kerusakan kulit/jaringan; pembentukan edema. Manifulasi jaringan cidera contoh debridemen luka.
6 Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan, perubahan/disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan Penurunan/interupsi aliran darah arterial/vena, contoh luka bakar seputar ekstremitas dengan edema.
7 Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau katabolisme protein.
8 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
9 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).
10 Gangguan citra tubuh (penampilan peran) berhubungan dengan krisis situasi; kejadian traumatik peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri.
11 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan Salah interpretasi informasi Tidak mengenal sumber informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B. Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 – 1328.
Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 752 – 779.
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Doenges M.E. (1989). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Donna D.Ignatavicius dan Michael, J. Bayne. (1991). Medical Surgical Nursing. A Nursing Process Approach. W. B. Saunders Company. Philadelphia. Hal. 357 – 401.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik Praktis. Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (2001). Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar Secara Paripurna. Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Jane, B. (1993). Accident and Emergency Nursing. Balck wellScientific Peblications. London.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Senat Mahasiswa FK Unair. (1996). Diktat Kuliah Ilmu Bedah 1. Surabaya.
Sylvia A. Price. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4 Buku 2. Penerbit Buku Kedokteran Egc, Jakarta
frizca rizky - ASKEP PLASENTA PREVIA
PLASENTA PREVIA
• Pengertian
Placenta previa ialah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae = di depan) : (vias = jalan). Jadi yang dimaksud ialah placenta yang implatansinya tidak normal ialah rendah sekali hingga menutupi seluruh atau sebagaian ostium internum atau terletak di bagian fundus uterus.
• Frekuensi
Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan.
• Klasifikasi
Berdasarkan atas terabanya jaringan placenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, placenta previa dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
1. Placenta previa totalis
Seluruh ostium internum tertutup oleh placenta. Pada pembukaan 3 cm
2. Placenta previa lateralis
Hanya sebagian dari ostium tertutup oleh placenta, pada pembukaan 5 cm.
3. Placenta previa marginalis
Hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan placenta, pada pembukaan 2 cm
4. Placenta previa centralis
Placenta yang terletak central, terhadap ostium internum.
5. Placenta letak rendah
Placenta yang implantasinya rendah tapi tidak sampai ke ostium uteri internum.
• Kejadian
Placenta previa lebih sering terdapat pada multigravida dari pada primigravida dan pada umur yang lanjut.
• Etiologi
Placenta previa mungkin terjadi kalau keadaan endometrium kurang baik misalnya karena atrofi endometrium.
Keadaan ini misalnya terdapat pada :
- Multiparace, terutama kalau jarak antara kehamilan-kehamilan pendek.
- Pada myoma uteri
- Curettage yang berulang-ulang
- Paritas, makin banyak paritas ibu, makin besar kemungkinan mengalami placenta previa
- Lisia itu pada saat kehamilan, bila usia ibu pada saat hamil 35 tahun atau lebih previa.
• Patologi
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh placenta previa umumnya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan karena pada saat itu segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan berkaitan dengan makin tuanya kehamilan. Namun demikian, kemungkinan perdarahan antepartum akibat plasenta previa dapat terjadi sejak kehamilan berusia lebih dari 20 Minggu. Pada usia kehamilan ini segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis.
Makin tua usia kehamilan segmen bawah uterus semakin melebar dan servirs membuka. Dengan demikian, plasenta yang berimplantasi disegmen bawah uterus tersebut akan mengalami “pergeseran” dari tempat implamentasinya sehingga dapat menimbulkan perdarahan. Darahnya berwarna merah segar, bersumber pada sinus uterus yang terobek atau karena robek sinus marginalis dari plasenta.
• Tanda dan gejala
1) Gejala yang terpenting ialah perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun, baru waktu ia bangun, ia merasa bahwa kainya berdarah. Biasanya perdarahan karena placenta praevia baru timbul setelah bulan ke tujuh.
Hal ini disebabkan :
- Perdarahan sebelum bulan ke tujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus.
- Perdarahan pada placenta previa disebabkan karena pergerakan antara placenta dan dinding rahim.
2) Kepala anak sangat tinggi : karena placenta terletak pada kutup bawah rahim, kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul.
3) Karena hal tersebut diatas juga karena ukuran panjang rahim berkurang, maka pada placenta praevia lebih sering terdapat kelainan letak.
- Perdarahan sepsis
- Emboli udara (jarang)
Bahaya untuk anak :
- Hypoxia
- Perdarahan dan shock
• Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis, khususnya membedakan apakah yang terjadi diakibatkan oleh placenta previa atau solusio plasenta; kemudian memberikan penanganan yang akurat, dipertukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan obstetrik.
Bagan : Membandingkan diagnosis plasenta previa dengan solusi plasenta.
Plasenta Previa Solution Plasenta
Perdarahan
Alasan :
Uterus
Janin
Merah, segar
Tidak ada
Lemas
Tanpa nyeri
- Bagian terbawah behim masuk PAP, atau
- Ada kelainan
- Kebanyakan masih hidup Merah tua, kehitaman
Ada faktor predisposisi
Tegang
Nyeri
Kebanyakan telah mati
• Anamnesis
1. Perdarahan
- Kapan mulainya perdarahan, berupa usia kehamilan ?
- Apakah jumlah perdarahan sedikit atau banyak ?
2. Rasa sakit
- Apakah ibu mengeluh sakit ?
- Diperut daerah mana ibu merasa sakit ?
- Kapan mulainya sakit terasa ?
- Apakah derajat sakit terasa ringan atau banyak ?
3. Perabaan uterus
- Apakah perabaan uterus terasa lunak atau keras dan tegang ?
4. Masalah pada kehamilan sebelumnya
- Apakah ibu mengalami masalah pada kehamilan sebelumnya ?
5. Kondisi janin
- Apakah ibu masih merasakan gerakan janin ?
• Pemeriksaan fisik
Periksalah tanda-tanda vital pasien yaitu kesadaran,tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu badan, adakah tanda-tanda yang menujukkan adanya renjatan (keadaan syok) seperti penurunan kesadaran, tekanan darah yang rendah, nadi yang cepat, serta keringat dan ujung-ujung anggota gerak yang dingin akibat perdarahan.
• Pemeriksaan Obstretri
1) Tentukan besar uterus apakah sesuai dengan usia kehamilan
2) Tentukan rahim lemas atau keras (tegang)
3) Tentukan adanya HIS dan bagaimana kondisi HIS
4) Periksa kondisi janin : Jumlahnya, letaknya, presentasinya dan sudah masuk pintu panggul atau belum, taksiran beratnya, janin hidup, gawat atau mati
5) Lihat daerah vulva (di luar vagina), apakah ada perdarahan. Bila ada perdarahan, berapa banyak jumlah perdarahan ? Bagaimana warnanya ?
Dilarang melakukan pemeriksaan pervaginam (periksa dalam)
Rujukan
• Kriteria rujukan
Perdarahan pervaginam dalam kehamilan, sedikit atau banyak. Merupakan keadaan abnormal. Oleh karena itu, pasien hamil dengan perdarahan pervaginam harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk operasi.
Jumlah perdarahan yang terlihat diluar vagina. Tidak bisa menentukan kelainan yang terjadi di dalam. Ada kemungkinan perdarahan yang terlihat diluar vagina sangat sedikit, walaupun terjadi perdarahan banyak di dalam uterus.
• Proses rujukan
1. Jelaskan segala sesuatu kepada keluarga pasien.
2. Rujuk pasien ke rumah sakit dengan membuat surat rujukan.
3. Pasang set infus dengan cairan Nacl Fisiologik (0,9%) bila ada orang yang bisa mengamati pemberian cairan kepada pasien di Puskesmas dan selama perjalanan ke rumah sakit.
4. Baringkan pasien dalam posisi menghadap ke kiri
5. Bila mungkin, sertakan 2 orang ke rumah sakit untuk menjadi donor darah.
Penagnanan
• Penanganan di tempat
Pada prinsipnya dilakukan upaya mencegah syok/presyok dan mempersiapkan rujukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Untuk kita laksanakan hal-hal sebagai berikut :
1. Anjurkan :
- Tirah barang total
- Tidak boleh melakukan senggama dan
- Hindari peningkatan tekanan rongga perut (misal batuk, mengedan karena sakit buang air besar).
2. Pasang set infus dengan cairan Nacl Fisiologik (0,9%) bila ada yang bisa mengamati pemberian cairan kepada pasien di puskesmas. Pemberian cairan infus diteruskan sampai perdarahan berhenti.
Jika tidak memungkinkan dilakuklan pemberian infus, maka harus diberikan cairan peroral.
Bagan : Penanganan plasenta previa
Penanganan di rumah sakit (rujukan)
Penanganan pasien plasenta harus dilakukan di rumah sakit karena hampir selalu kehamilan atau persalinan perlu diakhiri dengan cara seksio sesaren penanganan lanjut pX dengan plasenta previa di rumah sakit ditentukan oleh banyaknya peredaran yang terjadi pada usia kehamilan. Bila perdarahan berhenti atau sedikit dan usia kehamilan kurang dari 37 Minggu masih mungkin diharapkan pemgakhiran kehamilan ditunda hingga janin/bayi cukup bulan.
Komplikasi
1. Anemia karena perdarahan
2. Syok
3. Janin mati atau bayi lahir dalam keadaan prematur dan asifikasia berat
Hal-hal penting yang perlu di pertimbangkan
1. Ibu hamil perlu dijaga kondisinya agar tidak mengalami anemia, misalnya dengan memberikan preparat besi secara rutin.
2. Hendaknya setiap ibu hamil diketahui golongan darahnya
3. Ibu hamil dengan perdarahan persalinan harus di rumah sakit. Walaupun perdarahan sudah berhenti dengan sendirinya.
4. Pada saat pasien sedang dinilai dan disiapkan untuk dirujuk, segera cari sarana transportasi (misal mobil, kapal dan lain-lain) untuk segera membawa pasien ke rumah sakit.
Pengamatan yang harus dilakukan
1. Denyut jantung janin dan pergerakan janin untuk mengetahui apakah janin masih hidup.
Jika janin sudah mati, jiwa pasien tetap dalam bahaya akibat perdarahan. Oleh karena itu, pasien harus tetap dikirim kerumah sakit sesegera mungkin.
2. Tekanan darah dan frekuensi nadi pasien di pantau secara teratur (tiap 15 menit) untuk mengetahui apakah telah terjadi hipotensi atau tanda-tanda syok akibat perdarahan.
• Pengertian
Placenta previa ialah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae = di depan) : (vias = jalan). Jadi yang dimaksud ialah placenta yang implatansinya tidak normal ialah rendah sekali hingga menutupi seluruh atau sebagaian ostium internum atau terletak di bagian fundus uterus.
• Frekuensi
Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan.
• Klasifikasi
Berdasarkan atas terabanya jaringan placenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, placenta previa dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
1. Placenta previa totalis
Seluruh ostium internum tertutup oleh placenta. Pada pembukaan 3 cm
2. Placenta previa lateralis
Hanya sebagian dari ostium tertutup oleh placenta, pada pembukaan 5 cm.
3. Placenta previa marginalis
Hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan placenta, pada pembukaan 2 cm
4. Placenta previa centralis
Placenta yang terletak central, terhadap ostium internum.
5. Placenta letak rendah
Placenta yang implantasinya rendah tapi tidak sampai ke ostium uteri internum.
• Kejadian
Placenta previa lebih sering terdapat pada multigravida dari pada primigravida dan pada umur yang lanjut.
• Etiologi
Placenta previa mungkin terjadi kalau keadaan endometrium kurang baik misalnya karena atrofi endometrium.
Keadaan ini misalnya terdapat pada :
- Multiparace, terutama kalau jarak antara kehamilan-kehamilan pendek.
- Pada myoma uteri
- Curettage yang berulang-ulang
- Paritas, makin banyak paritas ibu, makin besar kemungkinan mengalami placenta previa
- Lisia itu pada saat kehamilan, bila usia ibu pada saat hamil 35 tahun atau lebih previa.
• Patologi
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh placenta previa umumnya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan karena pada saat itu segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan berkaitan dengan makin tuanya kehamilan. Namun demikian, kemungkinan perdarahan antepartum akibat plasenta previa dapat terjadi sejak kehamilan berusia lebih dari 20 Minggu. Pada usia kehamilan ini segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis.
Makin tua usia kehamilan segmen bawah uterus semakin melebar dan servirs membuka. Dengan demikian, plasenta yang berimplantasi disegmen bawah uterus tersebut akan mengalami “pergeseran” dari tempat implamentasinya sehingga dapat menimbulkan perdarahan. Darahnya berwarna merah segar, bersumber pada sinus uterus yang terobek atau karena robek sinus marginalis dari plasenta.
• Tanda dan gejala
1) Gejala yang terpenting ialah perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun, baru waktu ia bangun, ia merasa bahwa kainya berdarah. Biasanya perdarahan karena placenta praevia baru timbul setelah bulan ke tujuh.
Hal ini disebabkan :
- Perdarahan sebelum bulan ke tujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus.
- Perdarahan pada placenta previa disebabkan karena pergerakan antara placenta dan dinding rahim.
2) Kepala anak sangat tinggi : karena placenta terletak pada kutup bawah rahim, kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul.
3) Karena hal tersebut diatas juga karena ukuran panjang rahim berkurang, maka pada placenta praevia lebih sering terdapat kelainan letak.
- Perdarahan sepsis
- Emboli udara (jarang)
Bahaya untuk anak :
- Hypoxia
- Perdarahan dan shock
• Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis, khususnya membedakan apakah yang terjadi diakibatkan oleh placenta previa atau solusio plasenta; kemudian memberikan penanganan yang akurat, dipertukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan obstetrik.
Bagan : Membandingkan diagnosis plasenta previa dengan solusi plasenta.
Plasenta Previa Solution Plasenta
Perdarahan
Alasan :
Uterus
Janin
Merah, segar
Tidak ada
Lemas
Tanpa nyeri
- Bagian terbawah behim masuk PAP, atau
- Ada kelainan
- Kebanyakan masih hidup Merah tua, kehitaman
Ada faktor predisposisi
Tegang
Nyeri
Kebanyakan telah mati
• Anamnesis
1. Perdarahan
- Kapan mulainya perdarahan, berupa usia kehamilan ?
- Apakah jumlah perdarahan sedikit atau banyak ?
2. Rasa sakit
- Apakah ibu mengeluh sakit ?
- Diperut daerah mana ibu merasa sakit ?
- Kapan mulainya sakit terasa ?
- Apakah derajat sakit terasa ringan atau banyak ?
3. Perabaan uterus
- Apakah perabaan uterus terasa lunak atau keras dan tegang ?
4. Masalah pada kehamilan sebelumnya
- Apakah ibu mengalami masalah pada kehamilan sebelumnya ?
5. Kondisi janin
- Apakah ibu masih merasakan gerakan janin ?
• Pemeriksaan fisik
Periksalah tanda-tanda vital pasien yaitu kesadaran,tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu badan, adakah tanda-tanda yang menujukkan adanya renjatan (keadaan syok) seperti penurunan kesadaran, tekanan darah yang rendah, nadi yang cepat, serta keringat dan ujung-ujung anggota gerak yang dingin akibat perdarahan.
• Pemeriksaan Obstretri
1) Tentukan besar uterus apakah sesuai dengan usia kehamilan
2) Tentukan rahim lemas atau keras (tegang)
3) Tentukan adanya HIS dan bagaimana kondisi HIS
4) Periksa kondisi janin : Jumlahnya, letaknya, presentasinya dan sudah masuk pintu panggul atau belum, taksiran beratnya, janin hidup, gawat atau mati
5) Lihat daerah vulva (di luar vagina), apakah ada perdarahan. Bila ada perdarahan, berapa banyak jumlah perdarahan ? Bagaimana warnanya ?
Dilarang melakukan pemeriksaan pervaginam (periksa dalam)
Rujukan
• Kriteria rujukan
Perdarahan pervaginam dalam kehamilan, sedikit atau banyak. Merupakan keadaan abnormal. Oleh karena itu, pasien hamil dengan perdarahan pervaginam harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk operasi.
Jumlah perdarahan yang terlihat diluar vagina. Tidak bisa menentukan kelainan yang terjadi di dalam. Ada kemungkinan perdarahan yang terlihat diluar vagina sangat sedikit, walaupun terjadi perdarahan banyak di dalam uterus.
• Proses rujukan
1. Jelaskan segala sesuatu kepada keluarga pasien.
2. Rujuk pasien ke rumah sakit dengan membuat surat rujukan.
3. Pasang set infus dengan cairan Nacl Fisiologik (0,9%) bila ada orang yang bisa mengamati pemberian cairan kepada pasien di Puskesmas dan selama perjalanan ke rumah sakit.
4. Baringkan pasien dalam posisi menghadap ke kiri
5. Bila mungkin, sertakan 2 orang ke rumah sakit untuk menjadi donor darah.
Penagnanan
• Penanganan di tempat
Pada prinsipnya dilakukan upaya mencegah syok/presyok dan mempersiapkan rujukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Untuk kita laksanakan hal-hal sebagai berikut :
1. Anjurkan :
- Tirah barang total
- Tidak boleh melakukan senggama dan
- Hindari peningkatan tekanan rongga perut (misal batuk, mengedan karena sakit buang air besar).
2. Pasang set infus dengan cairan Nacl Fisiologik (0,9%) bila ada yang bisa mengamati pemberian cairan kepada pasien di puskesmas. Pemberian cairan infus diteruskan sampai perdarahan berhenti.
Jika tidak memungkinkan dilakuklan pemberian infus, maka harus diberikan cairan peroral.
Bagan : Penanganan plasenta previa
Penanganan di rumah sakit (rujukan)
Penanganan pasien plasenta harus dilakukan di rumah sakit karena hampir selalu kehamilan atau persalinan perlu diakhiri dengan cara seksio sesaren penanganan lanjut pX dengan plasenta previa di rumah sakit ditentukan oleh banyaknya peredaran yang terjadi pada usia kehamilan. Bila perdarahan berhenti atau sedikit dan usia kehamilan kurang dari 37 Minggu masih mungkin diharapkan pemgakhiran kehamilan ditunda hingga janin/bayi cukup bulan.
Komplikasi
1. Anemia karena perdarahan
2. Syok
3. Janin mati atau bayi lahir dalam keadaan prematur dan asifikasia berat
Hal-hal penting yang perlu di pertimbangkan
1. Ibu hamil perlu dijaga kondisinya agar tidak mengalami anemia, misalnya dengan memberikan preparat besi secara rutin.
2. Hendaknya setiap ibu hamil diketahui golongan darahnya
3. Ibu hamil dengan perdarahan persalinan harus di rumah sakit. Walaupun perdarahan sudah berhenti dengan sendirinya.
4. Pada saat pasien sedang dinilai dan disiapkan untuk dirujuk, segera cari sarana transportasi (misal mobil, kapal dan lain-lain) untuk segera membawa pasien ke rumah sakit.
Pengamatan yang harus dilakukan
1. Denyut jantung janin dan pergerakan janin untuk mengetahui apakah janin masih hidup.
Jika janin sudah mati, jiwa pasien tetap dalam bahaya akibat perdarahan. Oleh karena itu, pasien harus tetap dikirim kerumah sakit sesegera mungkin.
2. Tekanan darah dan frekuensi nadi pasien di pantau secara teratur (tiap 15 menit) untuk mengetahui apakah telah terjadi hipotensi atau tanda-tanda syok akibat perdarahan.
frizca rizky - ASKEP TETRALOGI FALLOT
KONSEP PENYAKIT DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KARDIOVASKULER:
TETRALOGI FALLOT
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Adalah suatu penyakit jantung congenital dengan sianosis yang merupakan kombinasi dari 4 gejala utama yaitu: (1) obstruksi aliran ke luar dari bilik kanan (stenosis pulmonalis), (2) cacat septum ventrikel, (3) posisi sebelah kanan dari aorta dan (4) hipertrofi ventrikel kanan bersama – sama membentuk tetralogi fallot.
2. PATOFISIOLOGI
Pengembalian vena sistemis
Atrium kanan Ventrikel kanan
Menguncup stenosis pulmonalis
Cacat septum ventikel aorta
Ketidakjenuhan darah arteri
Sianosis menetap
3. MANIFESTASI KLINIS
a. Sianosis
Obstruksi aliran darah keluar ventrikel kanan hipertropi infundibulum meningkat obstruksi meningkat disertai pertumbuhan yang semakin meningkat sianosis.
b. Dispnea
Terjadi bila penderita melakukan aktifitas fisik.
c. Serangan-serangan dispnea paroksimal (serangan-serangan anoksia biru)
Semakin bertambah usia, sianosis bertambah berat umum pada pagi hari.
d. Keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan pada pertambahan tinggi badan terutama pada anak, keadaan gizi kurang dari kebutuhan normal, pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak, masa pubertas terlambat.
e. Denyut pembuluh darah normal
Jantung baisanya dalam ukuran normal, apeks jantung jela sterlihat, suatu getaran sistolis dapat dirasakan di sepanjang tepi kiri tulang dada, pada celah parasternal 3 dan 4.
f. Bising sistolik
Terdengar keras dan kasar, dapat menyebar luas, tetai intensita sterbesar pada tepi kiri tulang dada.
4. DIAGNOSIS
a. Foto rontgen
b. ECG
c. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi.
d. Ventrikulografi kanan selektif.
e. Ventrikulografi kiri.
5. PENGOBATAN
a. Oksigenasi
b. Prostaglandin E1 relaksan kuat untuk melebarkan duktus arteriosus aliran darah pulmonal memadai.
c. Pencegahan hipotermia, dehidrasi
d. Pintasan Blalock-Taussig menyambung arteri subklavia ke cabang arteri pulmonalis homolateral.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Data yang umum ditemukan pada pasien dengan tetralogi fallot adalah:
a. Cyanosis menyeluruh atau pada membran mukosa bibir, lidah, konjungtiva. Sianosis juga timbul pada saat menangis, makan, tegang, berendam dalam air dapat perifer atau sentral.
b. Dispnea biasanya menyertai aktifitas makan, menangis atau tegang/stress.
c. Kelemahan, umum pada kaki.
d. Pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia.
e. Digital clubbing
f. Sakit kepala
g. Epistaksis
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
b. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
c. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
d. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
3. RENCANA INTERVENSI
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
Tujuan: penurunan cardiac output tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda vital dalam batas yang dapat diterima, bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung, urine output adekuat: 0,5 – 2 ml/kgBB.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
• Catat bunyi jantung.
• Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
• Pantau intake dan output setiap 24 jam.
• Batasi aktifitas secara adekuat.
• Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. • Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
• Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
• Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
• Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
• Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
• Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yangmeningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
b. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
Tujuan: Pasien akan menunjukkan keseimbangan energi yang adekuat.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti aktifitas sesuai kemampuan, istirahat tidur tercukupi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Ikuti pola istirahat pasien, hindari pemberian intervensi pada saat istirahat.
• Lakukan perawatan dengan cepat, hindari pengeluaran energi berlebih dari pasien.
• Bantu pasien memilih kegiatan yang tidak melelahkan.
• Hindari perubahan suhu lingkungan yang mendadak.
• Kurangi kecemasan pasien dengan memberi penjelasan yang dibutuhkan pasien dan keluarga.
• Respon perubahan keadaan psikologis pasien (menangis, murung dll) dengan baik. • Menghindari gangguan pada istirahat tidur pasien sehingga kebutuhan energi dapat dibatasi untuk aktifitas lain yang lebih penting.
• Meningkatkan kebutuhan istirahat pasien dan menghemat energi paisen.
• Menghindarkan psien dari kegiatna yang melelahkan dan meningkatkan beban kerja jantung.
• Perubahan suhu lingkungna yang mendadak merangsang kebutuhan akan oksigen yang meningkat.
• Kecemasan meningkatkan respon psikologis yang merangsang peningkatan kortisol dan meningkatkan suplai O2.
• Stres dan kecemasan berpengaruh terhadap kebutuhan O2 jaringan.
c. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
Tujuan: Pertumbuhan dan perembangan dapat mengikuti kurca tumbuh kembang sesuai dengan usia.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuia dengan usia, pasien terbebas dari isolasi social.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Sediakan kebutuhan nutrisi adekuat.
• Monitor BB/TB, buat catatan khusus sebagai monitor.
• Kolaborasi intake Fe dalam nutrisi. • Menunjang kebutuhan nutrisi pada masa pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh.
• Sebagai monitor terhadap keadaan pertumbuhan dan keadaan gizi pasien selama dirawat.
• Mencegah terjadinya anemia sedini mungkin sebagi akibat penurunan kardiak output.
d. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: Bebas dari tanda – tanda infeksi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji tanda vital dan tanda – tanda infeksi umum lainnya.
• Hindari kontak dengan sumber infeksi.
• Sediakan waktu istirahat yang adekuat.
• Sediakan kebutuhan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan.
• Memonitor gejala dan tanda infeksi sedini mungkin.
• Menghindarkan pasien dari kemungkinan terkena infeksi dari sumber yang dapat dihindari.
• Istirahat adekuat membantu meningkatkan keadaan umum pasien.
• Nutrisi adekuat menunjang daya tahan tubuh pasien yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
2. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
3. Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak: Textbook of Pediatrics Edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
4. Sylvia A. Price (1995), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit Edisi 4, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
5. Wong and Whaley’s (1996), Clinical Manual of Pediatrics Nursing 4th Edition, Mosby-Year Book, St.Louis, Missouri.
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KARDIOVASKULER:
TETRALOGI FALLOT
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Adalah suatu penyakit jantung congenital dengan sianosis yang merupakan kombinasi dari 4 gejala utama yaitu: (1) obstruksi aliran ke luar dari bilik kanan (stenosis pulmonalis), (2) cacat septum ventrikel, (3) posisi sebelah kanan dari aorta dan (4) hipertrofi ventrikel kanan bersama – sama membentuk tetralogi fallot.
2. PATOFISIOLOGI
Pengembalian vena sistemis
Atrium kanan Ventrikel kanan
Menguncup stenosis pulmonalis
Cacat septum ventikel aorta
Ketidakjenuhan darah arteri
Sianosis menetap
3. MANIFESTASI KLINIS
a. Sianosis
Obstruksi aliran darah keluar ventrikel kanan hipertropi infundibulum meningkat obstruksi meningkat disertai pertumbuhan yang semakin meningkat sianosis.
b. Dispnea
Terjadi bila penderita melakukan aktifitas fisik.
c. Serangan-serangan dispnea paroksimal (serangan-serangan anoksia biru)
Semakin bertambah usia, sianosis bertambah berat umum pada pagi hari.
d. Keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan pada pertambahan tinggi badan terutama pada anak, keadaan gizi kurang dari kebutuhan normal, pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak, masa pubertas terlambat.
e. Denyut pembuluh darah normal
Jantung baisanya dalam ukuran normal, apeks jantung jela sterlihat, suatu getaran sistolis dapat dirasakan di sepanjang tepi kiri tulang dada, pada celah parasternal 3 dan 4.
f. Bising sistolik
Terdengar keras dan kasar, dapat menyebar luas, tetai intensita sterbesar pada tepi kiri tulang dada.
4. DIAGNOSIS
a. Foto rontgen
b. ECG
c. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi.
d. Ventrikulografi kanan selektif.
e. Ventrikulografi kiri.
5. PENGOBATAN
a. Oksigenasi
b. Prostaglandin E1 relaksan kuat untuk melebarkan duktus arteriosus aliran darah pulmonal memadai.
c. Pencegahan hipotermia, dehidrasi
d. Pintasan Blalock-Taussig menyambung arteri subklavia ke cabang arteri pulmonalis homolateral.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Data yang umum ditemukan pada pasien dengan tetralogi fallot adalah:
a. Cyanosis menyeluruh atau pada membran mukosa bibir, lidah, konjungtiva. Sianosis juga timbul pada saat menangis, makan, tegang, berendam dalam air dapat perifer atau sentral.
b. Dispnea biasanya menyertai aktifitas makan, menangis atau tegang/stress.
c. Kelemahan, umum pada kaki.
d. Pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia.
e. Digital clubbing
f. Sakit kepala
g. Epistaksis
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
b. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
c. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
d. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
3. RENCANA INTERVENSI
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
Tujuan: penurunan cardiac output tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda vital dalam batas yang dapat diterima, bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung, urine output adekuat: 0,5 – 2 ml/kgBB.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
• Catat bunyi jantung.
• Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
• Pantau intake dan output setiap 24 jam.
• Batasi aktifitas secara adekuat.
• Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. • Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
• Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
• Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
• Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
• Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
• Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yangmeningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
b. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
Tujuan: Pasien akan menunjukkan keseimbangan energi yang adekuat.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti aktifitas sesuai kemampuan, istirahat tidur tercukupi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Ikuti pola istirahat pasien, hindari pemberian intervensi pada saat istirahat.
• Lakukan perawatan dengan cepat, hindari pengeluaran energi berlebih dari pasien.
• Bantu pasien memilih kegiatan yang tidak melelahkan.
• Hindari perubahan suhu lingkungan yang mendadak.
• Kurangi kecemasan pasien dengan memberi penjelasan yang dibutuhkan pasien dan keluarga.
• Respon perubahan keadaan psikologis pasien (menangis, murung dll) dengan baik. • Menghindari gangguan pada istirahat tidur pasien sehingga kebutuhan energi dapat dibatasi untuk aktifitas lain yang lebih penting.
• Meningkatkan kebutuhan istirahat pasien dan menghemat energi paisen.
• Menghindarkan psien dari kegiatna yang melelahkan dan meningkatkan beban kerja jantung.
• Perubahan suhu lingkungna yang mendadak merangsang kebutuhan akan oksigen yang meningkat.
• Kecemasan meningkatkan respon psikologis yang merangsang peningkatan kortisol dan meningkatkan suplai O2.
• Stres dan kecemasan berpengaruh terhadap kebutuhan O2 jaringan.
c. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
Tujuan: Pertumbuhan dan perembangan dapat mengikuti kurca tumbuh kembang sesuai dengan usia.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuia dengan usia, pasien terbebas dari isolasi social.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Sediakan kebutuhan nutrisi adekuat.
• Monitor BB/TB, buat catatan khusus sebagai monitor.
• Kolaborasi intake Fe dalam nutrisi. • Menunjang kebutuhan nutrisi pada masa pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh.
• Sebagai monitor terhadap keadaan pertumbuhan dan keadaan gizi pasien selama dirawat.
• Mencegah terjadinya anemia sedini mungkin sebagi akibat penurunan kardiak output.
d. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: Bebas dari tanda – tanda infeksi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji tanda vital dan tanda – tanda infeksi umum lainnya.
• Hindari kontak dengan sumber infeksi.
• Sediakan waktu istirahat yang adekuat.
• Sediakan kebutuhan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan.
• Memonitor gejala dan tanda infeksi sedini mungkin.
• Menghindarkan pasien dari kemungkinan terkena infeksi dari sumber yang dapat dihindari.
• Istirahat adekuat membantu meningkatkan keadaan umum pasien.
• Nutrisi adekuat menunjang daya tahan tubuh pasien yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
2. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
3. Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak: Textbook of Pediatrics Edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
4. Sylvia A. Price (1995), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit Edisi 4, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
5. Wong and Whaley’s (1996), Clinical Manual of Pediatrics Nursing 4th Edition, Mosby-Year Book, St.Louis, Missouri.
Selasa, 08 Februari 2011
frizca rizky - ASKEP ANAK DENGAN KEJANG DEMAM
# TEORI
Pengertian
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,).
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, ).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).
Patofisiologi
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik
Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular
Infeksi : Bakteri, virus, parasit
Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.
2. Ekstra kranial
Gg. metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na & K),
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.
3. Idiopatik
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)
2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
Klasifikasi Kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
1. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
2. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
Diagnosa Banding Kejang Pada Anak
Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
1. Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .
2. Apnea
Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.
3. Mioklonus Nokturnal Benigna
Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan
Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :
1. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati
2. Memonitor pernafasan dan denyut jantung
3. Usahakan suhu tetap stabil
4. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain
5. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan
* Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya
* Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
* Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :
* hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
* Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
* Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
* Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
* Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
* Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
* Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
2. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.
Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu
* Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
* Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
* Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
* Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
* Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
* Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
1. Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
2. Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
3. Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
4. USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular
5. Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak.Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.
Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu
1. Fisik
* Ubun-ubun anterior tertutup.
* Physiologis dapat mengontrol spinkter
2. Motorik kasar
* Berlari dengan tidak mantap
* Berjalan diatas tangga dengan satu tangan
* Menarik dan mendorong mainan
* Melompat ditempat dengan kedua kaki
* Dapat duduk sendiri ditempat duduk
* Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh
3. Motorik halus
* Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan
* Melepaskan dan meraih dengan baik
* Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu
* Menggambar dengan membuat tiruan
4. Vokal atau suara
* Mengatakan 10 kata atau lebih
* Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh
5. Sosialisasi atau kognitif
* Meniru
* Menggunakan sendok dengan baik
* Menggunakan sarung tangan
* Watak pemarah mungkin lebih jelas
* Mulai sadar dengan barang miliknya
Dampak hospitalisasi
Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.
Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
1. Rasa takut
* Memandang penyakit dan hospitalisasi
* Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal
* Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit
* Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan
* Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang.
2. Ansietas
* Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal
* Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)
* Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat
* Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit
* Tidak berdaya
* Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan
* Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau perawatan
* Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol
* Protes dan Ansietas karena restrain
3. Gangguan citra diri
* Sedih dengan perubahan citra diri
* Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)
* Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
* Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
* Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
* Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
* Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Cidera / trauma tidak terjadi Dengan Kriteria Hasil :
* Faktor penyebab diketahui,
* mempertahankan aturan pengobatan,
* meningkatkan keamanan lingkungan
1. Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
2. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
4. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
5. Lindungi klien dari trauma atau kejang.
6. Berikan kenyamanan bagi klien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan
2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Kriteria Hasil :
* Jalan napas bersih dari sumbatan,
* suara napas vesikuler,
* sekresi mukosa tidak ada,
* RR dalam batas normal
1. Observasi tanda-tanda vital
2. atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
3. Lakukan penghisapan lendir
4. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi
3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria Hasil :
* Kejang dapat dikontrol,
* suhu tubuh kembali normal
1. Kaji factor pencetus kejang.
2. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
3. Observasi tanda-tanda vital..
4. Lindungi anak dari trauma.
5. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan ketiak.
4 Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
Kriteria hasil :
* Mobilisasi fisik klien aktif
* kejang tidak ada
* kebutuhan klien teratasi
1. Kaji tingkat mobilisasi klien.
2. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien.
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan.
4. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
5. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.
5 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
* Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam,
* keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
1. Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
3. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes.
4. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti..
5. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
Pengertian
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,).
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, ).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis, termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia serebral. Sebagian kejang merupakan idiopati (tidak diketahui etiologinya).
Patofisiologi
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefolopati hipoksik – iskemik
Trauma (perdarahan) : perdarahan subaraknoid, subdural, atau intra ventrikular
Infeksi : Bakteri, virus, parasit
Kelainan bawaan : disgenesis korteks serebri, sindrom zelluarge, Sindrom Smith – Lemli – Opitz.
2. Ekstra kranial
Gg. metabolik : Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomognesemia, gangguan elektrolit (Na & K),
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
Kelainan yang diturunkan : gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan produksi kernikterus.
3. Idiopatik
Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5 (the fifth day fits)
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion NA + dan elektrolit lainnya, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial nmembran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang/gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
untuk itu livingston membuat kriteria dan membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)
2. Epilepsi yang di provokasi oleh demam epilepsi trigered off fever
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, Kriteria Livingstone tersebut setelah dimanifestasikan di pakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
Klasifikasi Kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
1. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
2. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
Diagnosa Banding Kejang Pada Anak
Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah gemetar, apnea dan mioklonus nokturnal benigna.
1. Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .
2. Apnea
Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.
3. Mioklonus Nokturnal Benigna
Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan
Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :
1. Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati
2. Memonitor pernafasan dan denyut jantung
3. Usahakan suhu tetap stabil
4. Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain
5. Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan
* Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya
* Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
* Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :
* hakan lihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
* Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
* Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
* Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
* Pemeriksaan fundus kopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
* Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
* Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
2. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.
Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu
* Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
* Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
* Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
* Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
* Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
* Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
1. Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
2. Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
3. Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
4. USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular
5. Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak.Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.
Tumbuh kembang pada anak usia 1 – 3 tahu
1. Fisik
* Ubun-ubun anterior tertutup.
* Physiologis dapat mengontrol spinkter
2. Motorik kasar
* Berlari dengan tidak mantap
* Berjalan diatas tangga dengan satu tangan
* Menarik dan mendorong mainan
* Melompat ditempat dengan kedua kaki
* Dapat duduk sendiri ditempat duduk
* Melempar bola diatas tangan tanpa jatuh
3. Motorik halus
* Dapat membangun menara 3 dari 4 bangunan
* Melepaskan dan meraih dengan baik
* Membuka halaman buku 2 atau 3 dalam satu waktu
* Menggambar dengan membuat tiruan
4. Vokal atau suara
* Mengatakan 10 kata atau lebih
* Menyebutkan beberapa obyek seperti sepatu atau bola dan 2 atau 3 bagian tubuh
5. Sosialisasi atau kognitif
* Meniru
* Menggunakan sendok dengan baik
* Menggunakan sarung tangan
* Watak pemarah mungkin lebih jelas
* Mulai sadar dengan barang miliknya
Dampak hospitalisasi
Pengalaman cemas pada perpisahan, protes secara fisik dan menangis, perasaan hilang kontrol menunjukkan temperamental, menunjukkan regresi, protes secara verbal, takut terhadap luka dan nyeri, dan dapat menggigit serta dapat mendepak saat berinteraksi.
Permasalahan yang ditemukan yaitu sebagai berikut :
1. Rasa takut
* Memandang penyakit dan hospitalisasi
* Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal
* Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit
* Pemikiran yang sederhana : hidup adalah mesin yang menakutkan
* Demonstrasi : menangis, merengek, mengangkat lengan, menghisap jempol, menyentuh tubuh yang sakit berulang-ulang.
2. Ansietas
* Cemas tentang kejadian yang tidakdikenal
* Protes (menangis dan mudah marah, (merengek)
* Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru tidak berminat
* Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit
* Tidak berdaya
* Merasa gagap karena kehilangan ketrampilan
* Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam dan yang memberi pengobatan atau perawatan
* Regresi dan Ansietas tergantung saat makan menghisap jempol
* Protes dan Ansietas karena restrain
3. Gangguan citra diri
* Sedih dengan perubahan citra diri
* Takut terhadap prosedur invasive (nyeri)
* Mungkin berpikir : bagian dalam tubuh akan keluar kalau selang dicabut
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
* Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
* Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
* Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
* Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Cidera / trauma tidak terjadi Dengan Kriteria Hasil :
* Faktor penyebab diketahui,
* mempertahankan aturan pengobatan,
* meningkatkan keamanan lingkungan
1. Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
2. Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
4. Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
5. Lindungi klien dari trauma atau kejang.
6. Berikan kenyamanan bagi klien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan
2 Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Kriteria Hasil :
* Jalan napas bersih dari sumbatan,
* suara napas vesikuler,
* sekresi mukosa tidak ada,
* RR dalam batas normal
1. Observasi tanda-tanda vital
2. atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
3. Lakukan penghisapan lendir
4. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi
3 Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria Hasil :
* Kejang dapat dikontrol,
* suhu tubuh kembali normal
1. Kaji factor pencetus kejang.
2. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
3. Observasi tanda-tanda vital..
4. Lindungi anak dari trauma.
5. Berikan kompres dingin pda daerah dahi dan ketiak.
4 Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
Kriteria hasil :
* Mobilisasi fisik klien aktif
* kejang tidak ada
* kebutuhan klien teratasi
1. Kaji tingkat mobilisasi klien.
2. Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien.
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan.
4. Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
5. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.
5 Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
* Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam,
* keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
1. Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
3. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes.
4. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti..
5. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
frizca rizky - ASKEP BAYI DENGAN RDS
# TEORI Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Patofisiologi
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
Gambaran Klinis
RDS mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan
Tanda-tanda gangguan pernafasan berupa :
* Dispnue/hipernue
* Sianosis
* Retraksi suprasternal / epigastrik / intercostals
* Grunting expirasi
Didapatkan gejala lain seperti :
* Bradikardi
* Hipotensi
* Kardiomegali
* Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki
* Hipotermi
* Tonus otot yang menurun
Gambaran radiology : bercak-bercak difus berupa infiltrate retikulogranular disertai dengan air bronkogram.
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Inefektif pola nafas b.d adanya penumpukan lendir pada jalan nafas.
* Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak
* Defisit volume cairan b.d meningkatnya metabolisme
* Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake yang tidak adekuat
* Resiko terjadinya infeksi pada tali pusat b.d invasi kuman patogen kedalam tubuh
* Kecemasan ortu b.d kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi.
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Inefektif pola nafas b.d akumulasi secret
Pola nafas efektif . Dengan Kriteria Hasil :
* RR 30-60 x/mnt
* Sianosis (-)
* Sesak (-)
* Ronchi (-)
* Whezing (-)
1. Observasi pola Nafas.
2. Observasi frekuensi dan bunyi nafas
3. Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi.
4. Observasi adanya sianosis.
5. Lakukan suction.
6. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
7. Beri O2 sesuai program.
8. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
9. Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.
10. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.
2 Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak
Gangguan perfusi jaringan teratasi Kriteria hasil :
* RR 30-60 x/mnt.
* Nadi 120-140 x/mnt.
* Suhu 36,5-37 C
* Sianosis (-)
* Ekstremitas hangat
1. Observasi frekwensi dan bunyi jantung.
2. Observasi adanya sianosis.
3. Beri oksigen sesuai kebutuhan
4. Kaji kesadaran bayi
5. Observasi TTV
6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
3 Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake yang tidak adekuat
Kebutuhan nutrisi ter- penuhi
Kriteria hasil :
* Tidak terjadi penurunan BB> 15 %.
* Muntah (-)
* Bayi dapat minum dengan baik
1. Observasi intake dan output.
2. Observasi reflek menghisap dan menelan bayi.
3. Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum.
4. Pasang NGT bila diperlukan
5. Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi.
6. Timbang BB tiap hari.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
8. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi
4 Kecemasan Ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya.
Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
* Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy.
* Orang tua tampak tenang.
* Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan.
1. Jelaskan tentang kondisi bayi.
2. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi.
3. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi.
4. Berikan support mental.
5. Berikan reinforcement atas pengertian orang tua.
5 Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogen.
Infeksi tali pusat tidak terjadi.
Kriteria hasil :
* Suhu 36-37 C
* Tali pusat kering dan tidak berbau.
* Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat.
1. Lakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat.
2. Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya.
3. Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat.
4. Observasi adanya perdarahan pada tali pusat.
5. Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses.
6. Observasi suhu bayi.
6 Devisit volume cairan b.d metabolisme yang meningkat
Volume cairan terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
* Suhu 36-37 C
* Nadi 120-140 x/mnt
* Turgor kulit baik.
1. Observasi suhu dan nadi.
2. Berikan cairan sesuai kebutuhan.
3. Observasi tetesan infus.
4. Observasi adanya tanda-tanda dehidrasi atau overhidrasi.
5. Kolaborasi pemberian therapy.
Patofisiologi
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
Gambaran Klinis
RDS mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan
Tanda-tanda gangguan pernafasan berupa :
* Dispnue/hipernue
* Sianosis
* Retraksi suprasternal / epigastrik / intercostals
* Grunting expirasi
Didapatkan gejala lain seperti :
* Bradikardi
* Hipotensi
* Kardiomegali
* Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki
* Hipotermi
* Tonus otot yang menurun
Gambaran radiology : bercak-bercak difus berupa infiltrate retikulogranular disertai dengan air bronkogram.
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Inefektif pola nafas b.d adanya penumpukan lendir pada jalan nafas.
* Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak
* Defisit volume cairan b.d meningkatnya metabolisme
* Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake yang tidak adekuat
* Resiko terjadinya infeksi pada tali pusat b.d invasi kuman patogen kedalam tubuh
* Kecemasan ortu b.d kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi.
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Inefektif pola nafas b.d akumulasi secret
Pola nafas efektif . Dengan Kriteria Hasil :
* RR 30-60 x/mnt
* Sianosis (-)
* Sesak (-)
* Ronchi (-)
* Whezing (-)
1. Observasi pola Nafas.
2. Observasi frekuensi dan bunyi nafas
3. Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi.
4. Observasi adanya sianosis.
5. Lakukan suction.
6. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
7. Beri O2 sesuai program.
8. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
9. Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.
10. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.
2 Gangguan perfusi jaringan b.d kurangnya oksigenasi keotak
Gangguan perfusi jaringan teratasi Kriteria hasil :
* RR 30-60 x/mnt.
* Nadi 120-140 x/mnt.
* Suhu 36,5-37 C
* Sianosis (-)
* Ekstremitas hangat
1. Observasi frekwensi dan bunyi jantung.
2. Observasi adanya sianosis.
3. Beri oksigen sesuai kebutuhan
4. Kaji kesadaran bayi
5. Observasi TTV
6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
3 Resiko Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake yang tidak adekuat
Kebutuhan nutrisi ter- penuhi
Kriteria hasil :
* Tidak terjadi penurunan BB> 15 %.
* Muntah (-)
* Bayi dapat minum dengan baik
1. Observasi intake dan output.
2. Observasi reflek menghisap dan menelan bayi.
3. Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum.
4. Pasang NGT bila diperlukan
5. Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi.
6. Timbang BB tiap hari.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
8. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi
4 Kecemasan Ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya.
Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
* Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy.
* Orang tua tampak tenang.
* Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan.
1. Jelaskan tentang kondisi bayi.
2. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi.
3. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi.
4. Berikan support mental.
5. Berikan reinforcement atas pengertian orang tua.
5 Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogen.
Infeksi tali pusat tidak terjadi.
Kriteria hasil :
* Suhu 36-37 C
* Tali pusat kering dan tidak berbau.
* Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat.
1. Lakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat.
2. Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya.
3. Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat.
4. Observasi adanya perdarahan pada tali pusat.
5. Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses.
6. Observasi suhu bayi.
6 Devisit volume cairan b.d metabolisme yang meningkat
Volume cairan terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
* Suhu 36-37 C
* Nadi 120-140 x/mnt
* Turgor kulit baik.
1. Observasi suhu dan nadi.
2. Berikan cairan sesuai kebutuhan.
3. Observasi tetesan infus.
4. Observasi adanya tanda-tanda dehidrasi atau overhidrasi.
5. Kolaborasi pemberian therapy.
frizca rizky - ASKEP BAYI BBLR
# TEORI Definisi
BBLR adalah bayi baru lahir dengan BB 2500 gram/ lebih rendah (WHO 1961)
Klasifikasi BBLR :
* Prematuritas murni Masa Gestasi kurang dari 37 minggu dan Bbnya sesuai dengan masa gestasi.
* Dismaturitas BB bayi yang kurang dari BB seharusnya, tidak sesuai dengan masa gestasinya.
Etiologi
Faktor ibu :
* Faktor penyakit (toksemia gravidarum, trauma fisik dll)
* Faktor usia
* Keadaan sosial
Faktor janin :
* Hydroamnion
* Kehamilan multiple/ganda
* Kelainan kromosom
Faktor Lingkungan :
* Tempat tinggal didataran tinggi
* Radiasi
* Zat-zat beracun
Gejala Klinis
* BB <>
* Pb <>
* Lingkar dada <>
* Lingkar kepala <>
Pemeriksaan Penunjang
Analisa gas darah
Komplikasi
* RDS
* Aspiksia
Penatalaksanaan medis
* Pemberian vitamin K
* Pemberian O2
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dan neuromuskuler.
* Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu tubuh dan berkurangnya lemak sub cutan didalam tubuh.
* Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi).
* Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan tubuh dalam mencerna nutrisi (imaturitas saluran cerna).
* Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
* Kecemasan orang tua b.d situasi krisis, kurang pengetahuan.
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dn neuro muscular
Pola nafas efektif . Dengan Kriteria Hasil :
* RR 30-60 x/mnt
* Sianosis (-)
* Sesak (-)
* Ronchi (-)
* Whezing (-)
1. Observasi pola Nafas.
2. Observasi frekuensi dan bunyi nafas
3. Observasi adanya sianosis.
4. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
5. Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi
6. Beri O2 sesuai program dokter
7. Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.
8. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
9. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.
2 Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu dan berkurangnya lemak subcutan didalam tubuh.
Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria Hasil :
* Suhu 36-37 C.
* Kulit hangat.
* Sianosis (-)
* Ekstremitas hangat
1. Observasi tanda-tanda vital.
2. Tempatkan bayi pada incubator
3. Awasi dan atur control temperature dalam incubator sesuai kebutuhan
4. Monitor tanda-tanda Hipertermi
5. Hindari bayi dari pengaruh yang dapat menurunkan suhu tubuh.
6. Ganti pakaian setiap basah
7. Observasi adanya sianosis
3 Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi)
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
* Suhu 36-37 C
* Tidak ada tanda-tanda infeksi
* Leukosit 5.000 – 10.000
*
1. Kaji tanda-tanda infeksi.
2. Isolasi bayi dengan bayi lain
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
4. Gunakan masker setiap kontak dengan bayi.
5. Cegah kontak dengan orang yang terinfeksi.
6. Pastikan semua perawatan yang kontak dengan bayi dalam keadaan bersih/steril.
7. Berikan antibiotic sesuai program.
8. Kolaborasi dengan dokter.
4 Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mencerna nutrisi (Imaturitas saluran cerna)
Nutrisi terpenuhi setelah
Kriteria hasil :
* Reflek hisap dan menelan baik
* Muntah (-)
* Kembung (-)
* BAB lancar
* Berat badan meningkat 15 gr/hr
* Turgor elastis.
1. Observasi intake dan output.
2. Observasi reflek hisap dan menelan.
3. Beri minum sesuai program
4. Pasang NGT bila reflek menghisap dan menelan tidak ada.
5. Monitor tanda-tanda intoleransi terhadap nutrisi parenteral.
6. Kaji kesiapan untuk pemberian nutrisi enteral
7. Kaji kesiapan ibu untuk menyusu.
8. Timbang BB setiap hari.
5 Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil :
* Suhu 36,5-37 C
* Tidak ada lecet atau kemerahan pada kulit.
* Tanda-tanda infeksi (-)
1. Observasi vital sign.
2. Observasi tekstur dan warna kulit.
3. Lakukan tindakan secara aseptic dan antiseptic.
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
5. Jaga kebersihan kulit bayi.
6. Ganti pakaian setiap basah.
7. Jaga kebersihan tempat tidur.
8. Lakukan mobilisasi tiap 2 jam.
9. Monitor suhu dalam incubator.
6 Kecemasan orang tua b.d kurang pengetahuan orang tua dan kondisi krisis.
Cemas berkurang
Kriteria hasil :
* Orang tua tampak tenang
* Orang tua tidak bertanya-tanya lagi.
* Orang tua berpartisipasi dalam proses perawatan.
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua
2. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
3. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
4. Berikan support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
5. Latih orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang.
BBLR adalah bayi baru lahir dengan BB 2500 gram/ lebih rendah (WHO 1961)
Klasifikasi BBLR :
* Prematuritas murni Masa Gestasi kurang dari 37 minggu dan Bbnya sesuai dengan masa gestasi.
* Dismaturitas BB bayi yang kurang dari BB seharusnya, tidak sesuai dengan masa gestasinya.
Etiologi
Faktor ibu :
* Faktor penyakit (toksemia gravidarum, trauma fisik dll)
* Faktor usia
* Keadaan sosial
Faktor janin :
* Hydroamnion
* Kehamilan multiple/ganda
* Kelainan kromosom
Faktor Lingkungan :
* Tempat tinggal didataran tinggi
* Radiasi
* Zat-zat beracun
Gejala Klinis
* BB <>
* Pb <>
* Lingkar dada <>
* Lingkar kepala <>
Pemeriksaan Penunjang
Analisa gas darah
Komplikasi
* RDS
* Aspiksia
Penatalaksanaan medis
* Pemberian vitamin K
* Pemberian O2
# PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
# ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
# DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dan neuromuskuler.
* Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu tubuh dan berkurangnya lemak sub cutan didalam tubuh.
* Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi).
* Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan tubuh dalam mencerna nutrisi (imaturitas saluran cerna).
* Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
* Kecemasan orang tua b.d situasi krisis, kurang pengetahuan.
*
# RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Tidak efektifnya pola nafas b.d imaturitas fungsi paru dn neuro muscular
Pola nafas efektif . Dengan Kriteria Hasil :
* RR 30-60 x/mnt
* Sianosis (-)
* Sesak (-)
* Ronchi (-)
* Whezing (-)
1. Observasi pola Nafas.
2. Observasi frekuensi dan bunyi nafas
3. Observasi adanya sianosis.
4. Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan gas darah.
5. Tempatkan kepala pada posisi hiperekstensi
6. Beri O2 sesuai program dokter
7. Observasi respon bayi terhadap ventilator dan terapi O2.
8. Atur ventilasi ruangan tempat perawatan klien.
9. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya.
2 Tidak efektifnya termoregulasi b.d imaturitas control dan pengatur suhu dan berkurangnya lemak subcutan didalam tubuh.
Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria Hasil :
* Suhu 36-37 C.
* Kulit hangat.
* Sianosis (-)
* Ekstremitas hangat
1. Observasi tanda-tanda vital.
2. Tempatkan bayi pada incubator
3. Awasi dan atur control temperature dalam incubator sesuai kebutuhan
4. Monitor tanda-tanda Hipertermi
5. Hindari bayi dari pengaruh yang dapat menurunkan suhu tubuh.
6. Ganti pakaian setiap basah
7. Observasi adanya sianosis
3 Resiko infeksi b.d defisiensi pertahanan tubuh (imunologi)
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
* Suhu 36-37 C
* Tidak ada tanda-tanda infeksi
* Leukosit 5.000 – 10.000
*
1. Kaji tanda-tanda infeksi.
2. Isolasi bayi dengan bayi lain
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
4. Gunakan masker setiap kontak dengan bayi.
5. Cegah kontak dengan orang yang terinfeksi.
6. Pastikan semua perawatan yang kontak dengan bayi dalam keadaan bersih/steril.
7. Berikan antibiotic sesuai program.
8. Kolaborasi dengan dokter.
4 Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakmampuan mencerna nutrisi (Imaturitas saluran cerna)
Nutrisi terpenuhi setelah
Kriteria hasil :
* Reflek hisap dan menelan baik
* Muntah (-)
* Kembung (-)
* BAB lancar
* Berat badan meningkat 15 gr/hr
* Turgor elastis.
1. Observasi intake dan output.
2. Observasi reflek hisap dan menelan.
3. Beri minum sesuai program
4. Pasang NGT bila reflek menghisap dan menelan tidak ada.
5. Monitor tanda-tanda intoleransi terhadap nutrisi parenteral.
6. Kaji kesiapan untuk pemberian nutrisi enteral
7. Kaji kesiapan ibu untuk menyusu.
8. Timbang BB setiap hari.
5 Resiko gangguan integritas kulit b.d tipisnya jaringan kulit, imobilisasi.
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil :
* Suhu 36,5-37 C
* Tidak ada lecet atau kemerahan pada kulit.
* Tanda-tanda infeksi (-)
1. Observasi vital sign.
2. Observasi tekstur dan warna kulit.
3. Lakukan tindakan secara aseptic dan antiseptic.
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan bayi.
5. Jaga kebersihan kulit bayi.
6. Ganti pakaian setiap basah.
7. Jaga kebersihan tempat tidur.
8. Lakukan mobilisasi tiap 2 jam.
9. Monitor suhu dalam incubator.
6 Kecemasan orang tua b.d kurang pengetahuan orang tua dan kondisi krisis.
Cemas berkurang
Kriteria hasil :
* Orang tua tampak tenang
* Orang tua tidak bertanya-tanya lagi.
* Orang tua berpartisipasi dalam proses perawatan.
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua
2. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
3. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
4. Berikan support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
5. Latih orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang.
frizca rizky - ASKEP DENGAN TRAUMA THORAKS
1. Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.
II. DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
III. ETIOLOGI.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
IV. ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
V. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
VI. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.
VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
- Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
- Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
- Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 <>
2. PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
3. ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
* Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
* Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
* Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
* Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
* Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
* Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
*
5. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Pola pernapasan efektive
Dengan Kriteria Hasil :
? Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
? Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
? Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam
2 Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
Jalan napas lancar/normal
Kriteria Hasil :
? Menunjukkan batuk yang efektif.
? Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
? Klien nyaman.
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
3. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
4. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
5. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
3 Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
? Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
? Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
? Pasien tidak gelisah.
1. Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
2. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
3. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
4. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
5. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
II. DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
III. ETIOLOGI.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
IV. ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
V. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
VI. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.
VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
- Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
- Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
- Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 <>
2. PATHWAYS
Pathways dapat dilihat disini
3. ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
*
* Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
* Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
* Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
* Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
* Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
* Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
* Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
*
5. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
1 Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Pola pernapasan efektive
Dengan Kriteria Hasil :
? Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
? Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
? Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam
2 Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
Jalan napas lancar/normal
Kriteria Hasil :
? Menunjukkan batuk yang efektif.
? Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
? Klien nyaman.
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
3. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
4. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
5. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
3 Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
? Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
? Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
? Pasien tidak gelisah.
1. Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
2. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
3. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
4. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
5. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
Langganan:
Postingan (Atom)