PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K (PDVK)
bahaya dari Defisiensi VIT K
PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K (PDVK)
Pengertian
PDVK adalah terjadinya perdarahan spontan atau perdarahan karena proses lain seperti pengambilan darah vena atau operasi yang disebabkan karena berkurangnya aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX dan X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi yang tidak bergantung pada vitamin K, kadar fibrinogen dan jumlah trombosit masih dalam batas normal (Sutor dkk 1999). Hal ini dibuktikan bahwa kelainan tersebut akan segera membaik dengan pemberian vitamin K dan setelah sebab koagulopati lain disingkirkan.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, frekuensi PDVK yang dilaporkan bervariasi antara 0,25-1,7%. Angka kejadian PDVK ditemukan lebih tinggi pada daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis vitamin K secara rutin pada bayi baru lahir.
Survei di Jepang menemukan kasus ini pada 1:4.500 bayi, 81% di antaranya ditemukan komplikasi perdarahan intrakranial, sedangkan di Thailand angka PDVK adalah 1:1.200 bayi.10 Angka kejadian pada kedua negara ini menurun setelah diperkenalkannya pemberian vitamin K profilaksis pada semua bayi baru lahir.
Angka kejadian perdarahan intrakranial karena PDVK di Thailand dilaporkan sebanyak 82% atau 524 kasus dari 641 penderita PDVK, sedangkan di Inggris 10 kasus dari 27 penderita atau sebesar 37%. Sedangkan di India angka kejadian PDVK dilaporkan sebanyak 1 kasus tiap 14.000 bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis saat lahir.
Data dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 1990-2000 terdapat 21 kasus PDVK. Tujuh belas kasus (81%) mengalami komplikasi perdarahan intrakranial dengan angka kematian 19% (Catatan Medik IKA-RSCM tahun 2000).
Faktor risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya PDVK antara lain ibu yang selama kehamilan mengkonsumsi obat-obatan yang mengganggu metabolisme vitamin K seperti, obat antikoagulan oral (warfarin); obat-obat antikonvulsan (fenobarbital, fenitoin, karbamazepin); obat-obat antituberkulosis (INH, rifampicin); sintesis vitamin K yang kurang oleh bakteri usus (pemakaian antibiotik, khususnya pada bayi kurang bulan); gangguan fungsi hati (kolestasis); kurangnya asupan vitamin K dapat terjadi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, karena ASI memiliki kandungan vitamin K yang rendah yaitu <20 ug/L bila dibandingkan dengan susu sapi yang memiliki kandungan vitamin K 3 kali lipat lebih banyak (60 ug/L). Selain itu asupan vitamin K yang kurang juga disebabkan sindrom malabsorpsi dan diare kronik.
Klasifikasi
PDVK dibagi menjadi early, clasiccal dan late berdasarkan pada umur saat kelainan tersebut bermanifestasi (Sutor dkk 1999, Von Kries 1999).
• Early VKDB (PDVK dini), timbul pada hari pertama kehidupan. Kelainan ini jarang sekali dan biasanya terjadi pada bayi dari ibu yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mengganggu metabolisme vitamin K. Insidens yang dilaporkan atas bayi dari ibu yang tidak mendapat suplementasi vitamin K adalah antara 6-12% (tinjauan oleh Sutor dkk 1999).
• Classical VKDB (PDVK klasik), timbul pada hari ke 1 sampai 7 setelah lahir dan lebih sering terjadi pada bayi yang kondisinya tidak optimal pada waktu lahir atau yang terlambat mendapatkan suplementasi makanan. Insidens dilaporkan bervariasi, antara 0 sampai 0,44% kelahiran. Tidak adanya angka rata-rata kejadian PDVK klasik yang pasti karena jarang ditemukan kriteria diagnosis yang menyeluruh.
• Late VKDB (PDVK lambat), timbul pada hari ke 8 sampai 6 bulan setelah lahir, sebagian besar timbul pada umur 1 sampai 3 bulan. Kira-kira setengah dari pasien ini mempunyai kelainan hati sebagai penyakit dasar atau kelainan malabsorpsi. Perdarahan intrakranial yang serius timbul pada 30-50%. Pada bayi berisiko mungkin ditemukan tanda-tanda penyakit hati atau kolestasis seperti ikterus yang memanjang, warna feses pucat, dan hepatosplenomegali. Angka rata-rata kejadian PDVK pada bayi yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K adalah 5-20 per 100.000 kelahiran dengan angka mortalitas sebesar 30% (Loughnan dan McDougall 1993).
Patofisiologi
Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, merupakan suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan aktivasi beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah, seperti protrombin atau faktor II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta beberapa protein lain seperti protein Z dan M yang belum banyak diketahui perannya dalam pembekuan darah.
Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu:
• Vitamin K1 (phytomenadione), tedapat pada sayuran hijau. Sediaan yang ada saat ini adalah cremophor dan vitamin K mixed micelles (KMM).
• Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus normal seperti Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli.
• Vitamin K3 (menadione) merupakan vitamin K sintetik yang sekarang jarang diberikan pada neonatus karena dilaporkan dapat menyebabkan anemia hemolitik.
Secara fisiologis kadar faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K dalam tali pusat sekitar 50% dan akan menurun dengan cepat mencapai titik terendah dalam 48-72 jam setelah kelahiran. Kemudian kadar faktor ini akan bertambah secara perlahan selama beberapa minggu tetapi tetap berada di bawah kadar orang dewasa. Peningkatan ini disebabkan oleh absorpsi vitamin K dari makanan.
Sedangkan bayi baru lahir relatif kekurangan vitamin K karena berbagai alasan, antara lain simpanan vitamin K yang rendah pada waktu lahir, sedikitnya perpindahan vitamin K melalui plasenta, rendahnya kadar vitamin K pada ASI dan sterilitas saluran cerna.30
Tempat perdarahan utama adalah umbilikus, membran mukosa, saluran cerna, sirkumsisi dan pungsi vena. Selain itu perdarahan dapat berupa hematoma yang ditemukan pada tempat trauma, seperti hematoma sefal. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya perdarahan intrakranial yang merupakan penyebab mortalitas atau morbiditas yang menetap.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah perdarahan, pucat dan hepatomegali ringan. Perdarahan dapat terjadi spontan atau akibat trauma, terutama trauma lahir. Pada kebanyakan kasus perdarahan terjadi di kulit, mata, hidung dan saluran cerna. Perdarahan kulit sering berupa purpura, ekimosis atau perdarahan melalui bekas tusukan jarum suntik.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi tersering (63%), 80-100% berupa perdarahan subdural dan subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial didapatkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (TIK) bahkan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala ataupun tanda. Pada sebagian besar kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, anak menjadi cengeng, ubun-ubun besar membonjol, pucat dan kejang. Kejang yang terjadi dapat bersifat fokal atau umum. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah fotofobia, edema papil, penurunan kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta kelainan neurologis fokal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penurunan kompleks protombin (faktor II,VII,IX,X) ditandai oleh pemanjangan masa pembekuan, masa protrombin dan masa tromboplastin parsial. Masa perdarahan, jumlah leukosit dan trombosit biasanya normal. Kebanyakan kasus disertai anemia normokromik normositik.
Pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan dekarboksilasi kompleks protrombin (protein induced by vitamin K absence = PIVKA-II), pengukuran kadar vitamin K1 plasma atau pengukuran areptilase time yang menggunakan bisa ular Echis crinatum.12,15-16 Pemeriksaan tersebut saat ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Perdarahan intrakranial dapat terlihat jelas dengan pemeriksaan USG kepala, CT-Scan, atau MRI. Pemeriksaan ini selain untuk diagnostik, juga digunakan untuk menentukan prognosis.
Komplikasi
Komplikasi pemberian vitamin K antara lain reaksi anafilaksis (bila diberikan secara IV), anemia hemolitik, hiperbilirubinemia (dosis tinggi) dan hematoma pada lokasi suntikan.
Profilaksis
Hampir semua negara di dunia merekomendasikan pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir. Di Australia profilaksis dengan mengguna-kan Konakion® 1 mg, IM dosis tunggal sudah diperkenalkan sejak awal tahun 1970-an. Tindakan tersebut mula-mula diberikan kepada bayi sakit, yaitu bayi kurang bulan, atau yang mengalami asfiksia perinatal, dan akhirnya menjadi rutin untuk semua bayi baru lahir. Pada tahun 2000, National Health and Medical Research Council (NHMRC) Australia menyusun rekomendasi pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir.
Dalam rekomendasi tersebut dinyatakan bahwa semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1; bayi baru lahir yang bugar seharusnya menerima vitamin K baik secara IM 1 mg, dosis tunggal pada waktu lahir atau 3 kali dosis oral, masing-masing 2 mg yang diberikan pada waktu lahir, umur 3-5 hari dan umur 4-6 minggu. Orang tua harus mendapat informasi pada saat antenatal tentang pentingnya pemberian profilaksis vitamin K; dan setiap rumah sakit harus memiliki protokol tertulis yang jelas tentang pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir.3 Selandia Baru sejak tahun 1995 telah merekomendasikan profilaksis vitamin K kepada bayi baru lahir. Begitu pula dengan British Columbia pada Maret 2001 dan Canadian Paediatric Society tahun 2002.
Untuk negara berkembang seperti Thailand, sekitar 30-40 tahun yang lalu (1960-1970) setengah dari persalinan dibantu oleh dukun atau bidan. Injeksi parenteral tidak dapat dilakukan oleh bidan sehingga Isarangkura meminta perusahaan farmasi menyediakan vitamin K oral (Konakion®, Roche, Basel) serta melakukan penelitian mengenai profilaksis vitamin K oral 2 mg dosis tunggal yang dapat dilakukan secara rutin.
Efikasi yang tinggi, toksisitas dan harga yang rendah, cara pemberian dan penyimpanan yang sederhana menjadikan profilaksis vitamin K secara oral memungkinkan untuk dilakukan di negara berkembang.
Pemberian vitamin K profilaksis oral 2 mg untuk bayi baru lahir bugar dan 0,5–1 mg IM untuk bayi tidak bugar (not doing well) telah dilakukan secara rutin di Thailand sejak 1988 dan pemberiannya diwajibkan di seluruh Thailand pada tahun 1994-1998.
Insidens PDVK lambat laun menurun dari 30-70 per 100.000 kelahiran menjadi 4-7 per 100.000 kelahiran. Sejak 1999 semua bayi baru lahir diberikan vitamin K profilaksis IM karena sebagian besar persalinan terjadi di rumah sakit. Vitamin K profilaksis IM ini diberikan bersama dengan imunisasi rutin seperti Hepatitis B dan BCG.
Vitamin K yang digunakan untuk profilaksis adalah vitamin K1. Cara pemberian dapat dilakukan baik secara IM ataupun oral.
• Intramuskular, dengan dosis 1 mg pada seluruh bayi baru lahir. Pemberian dengan dosis tunggal diberikan pada waktu bayi baru lahir.
• Oral, dengan dosis tunggal 2 mg diberikan tiga kali, yaitu pada saat bayi baru lahir, pada umur 3-7 hari, dan pada umur 4-8 minggu.
Efektivitas Profilaksis
Cornelissen dkk23 (1997) merangkum hasil surveilans aktif tentang PDVK lambat yang dilakukan di Jerman, Australia, Belanda dan Swiss yang dikumpulkan dengan strategi sama dan dibandingkan angka kegagalannya. Terdapat 4 strategi pemberian vitamin K, yaitu
1) pemberian vitamin K dosis rendah 25 ug/hari untuk bayi yang mendapat ASI (Belanda);
2) 3x1 mg secara oral (Australia: January 1993 – Maret 1994 dan Jerman: Desember 1992-Desember 1994);
3) 1 mg IM (Australia: Maret 1994);
4) 2x2mg vitamin K oral (preparat KMM) (Swiss).
Angka kegagalan per 100.000 kelahiran hidup adalah 0,2 di Belanda, 2,3 di Jerman, 2,5 (profilaksis oral) dan 0 (profilaksis IM) di Australia, 3,6 di Swiss.
Angka kegagalan setelah profilaksis lengkap adalah 0 di Belanda, 1,8 di Jerman, 1,5 (profilaksis oral) dan 0 (profilaksis IM) di Australia, 1,2 di Swiss. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dosis oral 3x1 mg kurang efektif bila dibandingkan dengan profilaksis vitamin g/hari untuk bayi yang mendapat ASIK IM; profilaksis dosis rendah 25 mungkin sama efektif seperti profilaksis vitamin K parenteral.
Isarangkura dkk17 (Thailand, 1989) telah melakukan evaluasi pengaruh pemberian vitamin K profilaksis dosis tunggal pada bayi baru lahir peroral dibandingkan dengan cara parenteral pada waktu lahir. Dua ratus enam puluh enam bayi sehat yang mendapat ASI dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 mendapat vitamin K IM 1 mg; kelompok 2, 3, 4 mendapat vitamin K oral pada waktu 2-4 jam setelah lahir masing-masing dengan dosis 2 mg, 3 mg dan 5 mg.
Didapatkan hasil tidak ada perbedaan statistik bermakna dalam rerata kadar kompleks protrombin.17 Profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir peroral 2 mg ternyata sangat menguntungkan, sama halnya dengan pemberian secara parenteral. Isarangkura menyatakan bahwa seharusnya semua bayi baru lahir mendapatkan profilaksis vitamin K baik secara oral maupun parenteral. Pemberian vitamin K secara oral praktis untuk negara berkembang karena cara pemberian sederhana, harga murah, toksisitas rendah dan kegunaan tinggi.
Pemberian vitamin K profilaksis IM menunjukkan insidens PDVK lambat lebih kecil dibandingkan dengan cara pemberian oral (Tabel 2).
Konsensus berbagai organisasi profesi di Selandia baru (dokter anak, dokter umum, dokter kebidanan, bidan dan perawat) merekomendasikan bahwa semua bayi seharusnya mendapat profilaksis vitamin K. Cara pemberian yang direkomendasikan adalah secara IM 1 mg (bagi bayi prematur = 0,5 mg) diberikan pada waktu lahir. Jika orang tua tidak setuju dengan pemberian secara IM, maka bayi diberikan vitamin K oral 2 mg yang diberikan 3 kali yaitu pada waktu baru lahir, umur 3-5 hari dan 4-6 minggu.
Jika bayi muntah dalam waktu satu jam setelah pemberian oral maka pemberiannya harus diulang. Hal ini juga direkomendasikan oleh NHMRC pada tahun 2000, Newborn Services Medical Guidelines (Selandia Baru) pada tahun 2000 dan British Columbia Reproductive Care Program pada tahun 2001
International Society on Thrombosis and Haemostasis, Pediatric/Perinatal Subcommittee seperti yang dilaporkan oleh Sutor dkk24 (tahun 1999) menyatakan bahwa pemberian vitamin K baik secara oral maupun IM sama efektif dalam mencegah PDVK klasik, tetapi vitamin K IM lebih efektif dalam mencegah PDVK lambat. Efikasi profilaksis oral meningkat dengan pemberian berulang 3 kali daripada dosis tunggal, dan efikasi lebih tinggi bila diberikan dalam dosis 2 mg daripada dosis 1 mg. Pemberian vitamin K oral yang diberikan tiap hari atau tiap minggu sama efektif dengan profilaksis vitamin K IM.
Intramuskular
American Academy of Pediatricians (AAP) (tahun 2003) merekomendasikan bahwa Vitamin K harus diberikan kepada semua bayi baru lahir secara IM dengan dosis 0,5-1 mg.25 Canadian Paediatric Society (1997) juga merekomendasikan pemberian vitamin K secara IM. Metode ini lebih disukai di Amerika Utara karena efikasi dan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Oral
AAP juga menyatakan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efikasi, keamanan, bioavailabilitas dan dosis optimal vitamin K oral sediaan baru (KMM) untuk mencegah PDVK lambat.25 Cara pemberian oral merupakan alternatif pada kasus-kasus bila orangtua pasien menolak cara pemberian IM untuk melindungi bayi mereka dari nyeri karena injeksi IM.3,5 Di samping itu untuk keamanan, bayi yang ditolong oleh dukun bayi, sebaiknya diberikan secara oral.
Cara pemberian vitamin K secara IM lebih disukai dengan alasan berikut ini:3,4,5,12
• Absorpsi Vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 IM, terutama pada bayi yang menderita diare.
• Beberapa dosis vitamin K1 oral diperlukan selama beberapa minggu. Sebagai konsekuensinya, tingkat kepatuhan orang tua pasien merupakan suatu masalah tersendiri.
• Mungkin terdapat asupan vitamin K1 oral yang tidak adekuat karena absorpsinya atau adanya regurgitasi.
• Efektivitas vitamin K1 oral belum diakui secara penuh.
Harga vitamin K profilaksis IM 1 mg berkisar antara US$ 0,5-1 per dosis untuk setiap bayi baru lahir. Bank Dunia mengklasifikasikan intervensi disability-adjusted life years (DALY) kurang dari US$ 100 adalah paling efektif.12
Hubungan Profilaksis Vitamin K dan Kanker pada Anak
Tidak ada cukup bukti yang mendukung hubungan profilaksis vitamin K dengan insidens kanker pada anak di kemudian hari. Hal ini berdasarkan pada satu penelitian yang melibatkan 54.000 kelahiran di Amerika Serikat, satu penelitian yang melibatkan 1.383.000 bayi di Swedia, dua penelitian case control terhadap 132 dan 272 anak dengan kanker, penelitian case control berbasis pada populasi pada 515 anak di Skotlandia, dan penelitian case control lain atas 685 anak penderita kanker.5,8,26,27
Penelitian case control dilakukan oleh Von Kries dkk28 (1996) terhadap 272 anak yang menderita leukemia dan kanker lainnya untuk mengetahui hubungan antara pemberian profilaksis vitamin K IM dengan terjadinya kanker pada anak. Didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pemberian profilaksis vitamin K IM dengan terjadinya kanker pada anak.
Kelompok kerja vitamin K AAP meninjau ulang laporan yang dikemukakan oleh Golding dkk serta informasi lain, juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian vitamin K IM dengan leukemia pada anak atau kanker anak lainnya.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar